06 January, 2007

SELAMAT DATANG, PAK HAJI !

Minggu-minggu ini, beberapa bandara utama di Indonesia disibukkan oleh kedatangan jamaah haji kita. Lebih dari 200.000 orang tahun ini jamaah asal Indonesia telah melaksanakan ibadah rukun Islam yang kelima. Sekitar sepersepuluhnya adalah jamaah yang mengulang ibadah haji. Kita bangsa Indonesia tentu bangga, karena meskipun masih merasakan kesulitan ekonomi, tapi jumlah jamaah haji kita masih yang terbesar dibandingkan negara lain. Pemerintah Arab Saudi juga tahun ini masih memberikan penilaian jamaah haji Indonesia tertib dan disiplin dengan semua pengaturan yang ada di sana. Meskipun peristiwa haji tahun ini tercederai dengan kasus keterlambatan katering sehingga membuat ribuan jamaah haji Indonesia kelaparan.

Untuk dapat melaksanakan ibadah haji diperlukan biaya yang tidak sedikit. Ongkos Naik Haji (ONH) yang ditetapkan pemerintah saja mencapai 22 juta rupiah. Belum lagi ditambah biaya ekstra masing-masing jamaah, untuk persiapan, bekal selama perjalanan dan setelah kepulangan. Bahkan mungkin ada beberapa jamaah haji yang biaya ekstranya lebih besar dibandingkan ONH. Contohnya beberapa jamaah yang sangat royal melaksanakan “tasyakuran”, baik sebelum maupun sesudah haji. “Biar lebih afdhol”, katanya.

Ada banyak cara seseorang bisa berangkat melaksanakan ibadah haji. Sebagian dengan rajin menabung, sebagian lagi mendapatkan penghasilan dadakan yang sangat besar. Ada di antaranya yang dibiayai perusahaan atau instansi tempat bekerja. Tidak sedikit yang berangkat karena menang hadiah sayembara, bahkan adapula yang menunaikan ibadah haji karena ditunjuk menjadi pembimbing atau “ofisial” haji. Beberapa saudara kita juga menunaikan ibadah haji dengan menjual tanah atau rumahnya.

Sebab terkumpulnya dana atau kemampuan material untuk berhaji tentu di hadapan Allah SWT tidak ada nilai negatifnya. Yang terpenting bagi seorang jamaah haji adalah niat dan praktek selama berhaji. Ibadah haji seharusnya dilandasi niat ikhlas karena Allah semata, tidak karena yang lain. Pengorbanan seseorang dalam berhaji dengan mengorbankan materi, waktu dan tenaga yang besar, selayaknya tidak dilandasi karena ingin mendapat sebutan Pak Haji dan Bu Haji. Atau karena ingin meningkatkan popularitas dan pujian dari masyarakat. Apalagi kalau berhaji karena malu dan gengsi belum berhaji.. Ini sungguh jauh dari kemuliaan berhaji.

Banyak orang telah menggulirkan wacana berhaji bagi masyarakat Indonesia cukup sekali. Dengan pertimbangan kewajiban melaksanakan ibadah haji hanya sekali seumur hidup. Sementara biaya haji tersebut bisa dimanfaatkan untuk kegiatan peningkatan kualitas dan kesejahteraan umat yang saat ini sangat membutuhkan dana yang besar. Alasan lain adalah karena begitu banyaknya orang yang ingin melaksanakan ibadah haji. Jadi memberi kesempatan yang lebih luas bagi orang yang belum sempat berhaji.

Wacana ini di satu sisi positif, tapi di sisi lain kurang realistis. Karena gagasan tersebut hanya memandang bahwa ibadah haji memiliki dimensi ibadah formal rasional saja dan melupakan sisi ritual dan spiritual. Berhaji tidak sekedar memenuhi perintah Tuhan atau sekedar menggugurkan kewajiban dan menghitung-hitung manfaat sosial. Haji juga mengandung makna ritual dan kaya akan pengalaman spiritual yang seringkali nilainya tidak dapat digantikan oleh kepuasan matematika sosial. Contoh hal ini dituturkan oleh Arief Rachman, pakar pendidikan, yang baru pulang berhaji :

“Tahun ini saya berhaji sudah lima belas kali. Tapi ada pengalaman tahun ini yang tidak saya alami pada haji sebelumnya. Saat saya berwukuf di Arafah bersama jamaah, dalam kekhusyuan berdo’a dan berzikir, tiba-tiba kami melihat awan berlapis-lapis. Subhanallah..! kami memuji kebesaran Allah. Betul, ditunjukkan bahwa langit itu bertingkat-tingkat. Setelah itu awan berubah, dan betapa terkejutnya kami, karena gumpalan awan tersebut berubah membentuk tulisan Allah. Kami tersungkur bersujud. Allahu..Akbar ! Kami begitu terharu…”

Belum lagi jika kita perhatikan adanya sebagian jamaah haji yang meniatkan haji sebagai puncak ibadah pada akhir hidupnya. Mereka ini berangkat haji pada usia yang sudah lanjut. Beberapa di antaranya telah melampaui umur 70 tahun. Sebagian besar simpanan kekayaan yang dimilikinya direlakan untuk membiayai perjalanan hajinya. Orang-orang ini memang sudah mempersiapkan diri jika ajal menjemput saat di Tanah Suci. Bahkan hal itu dianggap sebagai saat kematian terindah yang ingin diraih pada penghujung kehidupannya. Tidak heran, jika orang ini saat berangkat meninggalkan kampung halamannya, dilepas dengan peluk cium laksana memang kepastian kematian di Tanah Suci adalah telah digariskan. Sungguh, ini adalah peristiwa haji yang mengandung muatan emosi spiritual yang mendalam.

Kita tentu sangat kecewa, apabila ada orang yang sering melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi hajinya tidak memiliki dampak dalam perilaku sosial sehari-hari. Haji hampir setiap tahun, tapi korupsi dan kolusi jalan terus. Haji ditunaikan, tapi menjadi rentenir dan pengijon juga dimainkan. Haji telah dilaksanakan, tapi membohongi rakyat dan berlaku culas dalam politik tak pernah dihentikan. Haji sudah sering dilakukan, tapi menindas dan berlaku zalim terhadap kelompok yang lemah juga tidak dilupakan. Atau haji sudah berulang, tapi bergaul bebas, berjudi, minuman keras dan berpakaian minim, juga menjadi penampilan sehari-hari.

Kini, jamaah haji kita juga semakin realistis. Tengok saja kesibukan di kawasan Tanah Abang hari-hari ini. Sebagian area pasar yang dulu dipenuhi lapak-lapak pedagang kaki lima, kini telah disulap menjadi Pasar Seng ala Indonesia. Sebagaimana layaknya di Arab Saudi sana, di sini tersedia aneka oleh-oleh yang biasanya dibawa oleh jamah haji yang baru pulang. Lengkap, tidak kurang sedikitpun. Dari mulai air zam-zam, kurma, kismis, kacang arab, sampai kepada asesoris seperti tasbih, sajadah, perlengkapan minum, mainan, eye shadow, lipstick dan tentu saja rumput fatimah. Harganya juga nyaris tidak berbeda dengan di Tanah Suci.

Ini melegakan kita. Karena dulu para jamaah haji harus rela membawa oleh-oleh yang memberatkan. Tidak sedikit yang selama menunaikan ibadah haji juga direpotkan dengan belanja oleh-oleh ini. Kekhusyuan ibadah juga ikut terganggu. Alasannya tentu, karena ingin membagi kenangan kepada kerabat dan tetangga. Supaya tidak sekedar bertemu dan bersilaturahim saja saat kedatangan. Tapi juga memberikan sedikit tanda mata dan membagi “barokah” haji. Misalnya dengan menyediakan minum air zam-zam. Itu semua kini tetap bisa dilakukan, tanpa perlu repot-repot membawa dari Arab Saudi.

Kedatangan jamaah haji juga menumbuhkan harapan. Karena bagaimanapun, semakin banyak orang berhaji, mudah-mudahan akan semakin banyak insan yang menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik. Pelajaran yang diperoleh jamaah selama haji, semoga menjadi pengantar mereka dalam mewujudkan Indonesia yang lebih adil, sejahtera dan Islami. Minimal, kepulangan haji akan menghentikkan tingkah laku yang kurang baik. Selamat datang, Pak Haji..!

No comments: