30 May, 2008

3 JARI

Belum tuntas bangsa Indonesia keluar dari keterpurukan sebagai akibat krisis moneter tahun 1997, ditambah dengan pukulan kenaikan BBM pada tahun 2005, kini kita dihadapkan lagi dengan hantaman kenaikan BBM yang berdampak pada bertambahnya kesulitan hidup masyarakat. Besaran kenaikan harga BBM saat ini, yang mencapai angka 30 % semakin mendorong meroketnya harga barang dan jasa hampir di semua sektor. Dimana sebelumnya harga beberapa kebutuhan pokok telah mengalami lonjakan, sebagai akibat kelangkaan pasokan di pasaran.

Konsekuensi dari semua ini adalah bertambahnya angka kemiskinan, melemahnya daya beli dan menurunnya daya tahan ekonomi bangsa. Kondisi ini semakin menjauhkan kita dari upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan. Idealita kita untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa juga akan semakin berjarak. Ketimpangan antara cita-cita dan realita menjadi semakin nyata hadir di hadapan kita.

Perlu ada kesadaran yang lebih kuat untuk mengarahkan kembali cita-cita kita. Mesti ada langkah-langkah yang fundamental untuk memperbaiki kondisi ini. Jalan baru harus diretas untuk menajamkan harapan, sekaligus membimbing kita untuk meraih kemandirian. Jalan tersebut kami bentangkan sebagai Tiga Jalan Kemandirian (3 Jari), yaitu :

1. Setiap keluarga mampu menjamin satu keluarga tidak mampu. Di Indonesia ini secara statistik dengan menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia, maka jumlah penduduk miskin kita mencapai tidak kurang dari angka 40 %. Sementara jumlah penduduk yang berada pada strata ekonomi sedang (tidak memiliki kelebihan banyak untuk menolong orang lain) sebesar 30 %. Sisanya sebesar 30 % lagi adalah kelompok masyarakat yang berkecukupan atau berkelebihan yang memiliki kemampuan menolong keluarga lain. Apabila setiap keluarga yang memiliki kelebihan ini mau menjamin kehidupan satu keluarga miskin, maka berarti angka kemiskinan kita bisa dipangkas 30 %. Artinya juga, upaya kita untuk melakukan kegiatan mengatasi kemiskinan hanya tinggal mengikis angka 10 % tersisa.
2. Kurangi konsumsi, khususnya produk impor. Untuk mengurangi beban kehidupan yang harus ditanggung, khususnya di tengah-tengah melambungnya harga-harga, maka kita harus berupaya untuk berhemat dengan menurunkan konsumsi. Terlebih penting lagi menurunkan konsumsi produk impor yang jelas-jelas mengalirkan devisa keluar. Produk impor juga sebagiannya telah mematikan potensi produksi dalam negeri. Produk lokal banyak yang tersia-sia dan termarjinalkan karena tergerus produk impor yang membanjiri dalam negeri. Jangan pernah terjadi ada sebagian masyarakat yang terus memuaskan syahwat konsumsinya dengan demonstratif, sementara sebagain masyarakat lainnya tengah terpuruk dan kehilangan daya beli, bahkan hanya sekedar untuk memenuhi makan sehari-hari pun tak mampu.
3. Bangun lapangan kerja. Untuk menjamin bahwa setiap kepala keluarga bisa terus produktif atau mendapatkan penghasilan, maka ketersediaan lapangan kerja yang cukup adalah prasyaratnya. Kita semua harus terus berupaya untuk terus berkreasi menciptakan lapangan kerja. Pengembangan usaha-usaha baru dan pengembangan investasi yang menumbuhkan sektor riil, harus terus digalakkan. Kewirausahaan, baik di sektor bisnis, sosial dan pemerintahan harus dikembangkan. Setelah ditumbuhkan harus dijaga agar kesinambungannya terus terkawal, sehingga kelangsungan jaminan penghasilan masyarakat berkelanjutan.

Semoga kita semua mampu menempuh jalan kemandirian dan bisa mengantarkan bangsa Indonesia terbebas dari keterpurukannya.

06 May, 2008

Gratis itu Mendidik

Sejak wacana pendidikan gratis dan pengobatan gratis berkembang deras, khususnya sejak menjadi tema favorit kampanye pasangan kandidat di berbagai pilkada, pertanyaan kritis dan gugatan pun tumbuh sumbur. Bahkan bukan hanya sekolah gratis dan rumah sakit gratis yang dipersoalkan, tetapi juga semua hal yang diberikan secara gratis kepada masyarakat dinilai sebagai sebuah aib.

Di Harian Kompas (28/04/08), N Widi Wahyono membuat tulisan opini dengan judul “Sekolah Gratis, Pepesan Kosong”. Di dalamnya dimuat pandangan betapa bahwa segala sesuatu yang gratis itu tidak mendidik. Karena segala sesuatu yang diberikan secara gratis itu membuat mental masyarakat malas, kehilangan etos kerja, tidak mau berkorban dan menghasilkan kondisi keterbatasan dalam menghasilkan sebuah kualitas. Bahkan ketidaksetujuan terhadap konsep gratis itu juga muncul pada “obrolan warung kopi” dengan kalimat : “Zaman sekarang kok, sekolah digratiskan, kencing saja, di Jakarta ini bayar Rp 1.000,-“

Kalau kita mau jujur dan menyelami lebih dalam, sesungguhnya konsep gratis bukanlah sebuah konsep baru. Penggratisan sesuatu bukanlah hal buruk yang pernah ada dalam kehidupan manusia. Gratis adalah sebuah pesan kehidupan yang selama ini sudah ada dan berkembang di sekitar kita. Konsep gratis memiliki pesan-pesan yang mendidik kita semua.

Pesan pertama yang dibawakan oleh konsep gratis adalah pesan kasih sayang dan kepedulian. Allah SWT selaku pemilik alam semesta telah memberikan udara untuk nafas kepada kita sejak kita lahir dengan gratis. Allah Yang Maha Pemberi juga telah menganugerahi anggota tubuh kepada kita secara gratis. Allah Yang Maha Kuasa memberikan itu semua kepada kita sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Sebagaimana seorang ayah dan seorang ibu sejak kecil memberikan makan, pakaian, tempat tinggal, biaya transportasi, dan biaya sekolah kepada anak-anaknya secara gratis. Itu pun lahir dari kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya.

Semua pemberian karena kasih sayang dan kepedulian yang diterima semua manusia itu tidak pernah kita pertanyakan. Kita juga tidak pernah menilai bahwa semua pemberian itu akan menyebabkan manusia menjadi malas dan memiliki etos kerja rendah.

Pesan kedua yang dibawakan oleh konsep gratis adalah pesan optimalisasi pengelolaan sumber daya. Setiap hari kita mendengarkan siaran radio dan menonton televisi secara gratis. Kita tidak mengeluarkan biaya untuk menikmati itu semua. Bahkan pada era digital seperti sekarang ini, kita juga begitu banyak menikmati layanan gratis di dunia internet. Dari mulai email, mesin pencari, web hosting, web-blog dan banyak lagi fasilitas secara gratis.

Semua layanan itu kita nikmati secara gratis, karena perusahaan penyelenggara siaran radio, televisi dan penyedia jasa internet mampu mengelola sumber daya dengan baik. Sumber penerimaan yang umumnya berasal dari iklan atau sponsor digunakan untuk menutup fasilitas gratis yang mereka berikan. Perusahaan penyedia jasa itu telah mampu memanfaatkan sumber daya yang menghasilkan penerimaan untuk menutup pengeluaran dengan benar. Kita pun tidak pernah khawatir bahwa semua orang yang menikamti layanan siaran dan dunia maya secara gratis itu akan menjadi malas dan kehilangan etos kerja

Kalau seandainya pemerintah mampu mengelola sumber daya (kekayaan alam, industri, perdagangan, pajak) dengan benar, maka memang sudah seharusnya apabila sekolah dan rumah sakit menjadi gratis. Bahkan seharusnya dengan pengelolaan sumber daya yang baik, maka menikmati jalan raya juga menjadi gratis. Tidak seperti sekarang dimana untuk menikmati jalan tol kita harus membayar dengan mahal.

Jadi menyediakan sekolah gratis dan rumah sakit gratis bukanlah sebuah hal yang buruk. Ini justru bisa menjadi pemicu dan pemacu kita untuk senantiasa memberikan perhatian, kasih sayang dan kepedulian kepada masyarakat, khususnya bagi mereka yang tidak mampu. Sekaligus menjadi media bagi kita untuk terus meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya, khususnya dalam meningkatkan kemampuan mengelola sumber penerimaan dan pengeluaran. Faktanya, ternyata gratis itu mendidik !