Ahmad Juwaini
Toward to The Bright Future
03 October, 2023
Peran Dana Sosial Islam Mengawal Indonesia
14 July, 2023
Tantangan Penghimpunan Zakat Nasional
05 April, 2023
Karakteristik dan Peran Strategis Wakaf
12 July, 2022
Belajar dari Kasus ACT
07 January, 2022
Alengkara Project (Sebuah Proyek Sosial Kelompok Mahasiswa TPB Unpad)
24 July, 2021
Dicukur Istri
Karena harus dirumah aja, berhubung ada PPKM Darurat demi menghindari penularan Covid 1. Terlebih lagi ada pandangan bahwa kalau sudah berniat mau kurban tidak boleh potong rambut sampai kurbannya disembelih (selanjutnya dagingnya dibagikan), maka pilihannya adalah saya menahan diri untuk tidak potong rambut dalam waktu yang cukup lama. Jauh lebih lama dari periode potong rambut biasanya. Akibatnya rambut terasa sangat panjang, meskipun sebenarnya panjangnya belum sampai sebahu (sebagaimana panjang rambut sebagian pemain band rock heavy metal). Dampaknya, sudah terasa sangat gatal ingin potong rambut. Maka ketika sudah lewat Idul Adha, dan hewan kurban kita sudah disembelih, maka pemotongan rambut pun akan dilakukan. Sengaja beberapa hari sebelumnya, saya beli alat cukur dari online shop terkenal. Saya pilih alat cukur yang harganya agak menengah. Dipilih harga yang agak “sedengan” maksudnya supaya dapat alat cukur yang agak bagusan, biar mudah digunakan dan hasilnya tidak mengecewakan.
Beberapa hari juga diperlukan
untuk merayu istri agar mau memotong rambut saya. Istri saya awalnya belum mau,
karena alasan khawatir hasil potongannya jelek. Atau hasil potongannya tidak
rapi dan banyak potongan rambutnya acak-acakan. Wajar, karena bagaimana pun
memang seumur-umur, istri saya belum pernah memotong rambut saya. Saya terus
meyakinkan istri saya, bahwa bagaimana pun hasil potongannya akan saya terima,
asal sudah dilakukan dengan hati-hati. Singkat cerita setelah mendapatkan
beberapa kali rayuan dan peyakinan dari saya, akhirnya istri saya luluh dan mau
memotong rambut saya.
Tibalah waktunya rambut saya mulai
dipotong istri saya. Istri saya memulainya dengan sangat hati-hati dan
pelan-pelan. Sedikit demi sedikit rambut saya mulai berjatuhan tergerus mesin
potong rambut. Semakin lama, istri saya semakin menikmati. Gerakan tangan istri
saya menari-nari di antara, alat cukur, gunting dan sisir. Rambut saya pun
semakin banyak yang terpotong. Beberapa kali istri saya berkata, “Stop sampai
sini yah ?” Berhubung istri saya masih ketakutan rupanya, Tapi saya pun
menjawab “sedikit lagi…”. Lalu pemotongan dilanjutkan lagi. Begitu beberapa
kali. Sampai akhirnya memang pemotongan rambut saya berakhir. Dengan hasil
akhir, sekitar separuh rambut saya telah terpangkas, dan…, terbentuk satu pitak
agak besar di bagian samping kanan rambut saya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada istri saya karena telah memotong
rambut saya dengan berani dan sukses. Lalu istri saya menanggapi ucapan terima
kasih saya dengan tertawa, mungkin akibat adanya pitak di rambut kepala saya
itu… (hehehe)
22 June, 2021
Mengantar Korban Kecelakaan (In Memoriam Mas Yuli Pujihardi)
Ini kejadian sekitar tahun 1997. Saat saya dan Mas Yuli melaksanakan tugas di Dompet Dhuafa. Kejadiannya di daerah Gintung, Ciputat. Waktu itu saya dan Mas Yuli baru pulang mengambil zakat dari seorang donatur di sekitar Bintaro. Sebagaimana biasanya kami menggunakan mobil operasional Dompet Dhuafa. Isuzu Panther warna hijau. Mas Yuli yang menyetir mobil, karena Mas Yuli sangat mahir mengendarai mobil, sementara saya waktu itu belum lancar mengendarai mobil. Saya duduk di depan di sebelah Mas Yuli.
Di jalanan Gintung Ciputat, saat
kami meluncur, ada anak muda menggunakan sepeda motor dengan kecepatan tinggi
berada di belakang mobil kami. Sesaat kemudian, anak muda dengan motornya itu,
menyalip mobil kami dengan kecepatan tinggi, saat posisi motor dan anak muda
itu berada di sisi mobil kami, dari arah berlawanan datang mobil truk juga
dengan kecepatan tinggi. Meski anak muda itu sudah berusaha untuk menghindar,
namun kecelakaan tak bisa dihindari. Motor itu bersama penumpangnya terpental
ke samping akibat ditabrak truk itu. Motor dan anak muda itu tergelatak di
jalanan, sementara mobil truk itu kabur menyelamatkan diri.
Orang-orang segera berkerumun.
Kami pun segera menghentikan perjalanan. Motor itu mengalami kerusakan,
sementara anak muda itu bersimbah darah di sekujur tubuhnya. Melihat korban
seperti itu, tiba-tiba ada seseorang yang berkata, “ini harus segera di bawa ke
rumah sakit”. Mendengar ucapan orang tersebut, Mas Yuli berbicara kepada saya,
“Mas Ahmad kita harus bawa korban ke rumah sakit”. Saya pun menjawab, “Iya Mas
Yul”. Selanjutnya Mas Yuli berkata kepada orang yang ada disitu, “Pak, tolong
bantu, mengangkat anak ini ke mobil itu.” Sambil Mas Yuli menunjuk ke arah
mobil panther hijau Dompet Dhuafa. Selanjutnya kami berusaha mengangkat dan
memasukkan anak muda itu ke bagian tengah mobil panther hijau. Korban
kecelakaan itu kita baringkan di bagian tengah mobil Panther. Saya pun pindah
posisi duduk ke bagian tengah untuk menemani korban kecelakaan itu, sementara
Mas Yuli di depan menyetir mobil.
Tujuan rumah sakit yang kami tuju
adalah Rumah Sakit Fatmawati. Sepanjang perjalanan korban kecelakaan itu
merintih kesakitan. Awalnya suara rintihannya agak keras, tetapi semakin lama
suaranya semakin pelan. Darah dari korban kecelakaan itu menetes dan mengalir
di bagian tengah mobil panther itu. Saya pun semakin tidak kuat melihat
pemandangan seperti itu sepanjang jalan. Sesekali saya memejamkan mata, sambil
berzikir menyebut berbagai lafadz zikir untuk menguatkan hati ini. Mendekati RS
Fatmawati, sudah tidak terdengar lagi rintihan dari korban kecelakaan tersebut.
Begitu sampai di UGD, kami segera
melapor ke petugas yang ada di sana. Setelah laporan kami diterima, petugas
segera mengeluarkan korban kecelakaan itu dari mobil panther dan membawanya ke
ruang UGD. Selajutnya dilakukan pemeriksaan terhadap korban kecelakaan oleh
para petugas di UGD RS Fatmawati itu. Setelah menunggu sekitar 30 menit, kami
dapat informasi bahwa korban kecelaakan itu dinyatakan telah meninggal. “Inna
lillaahi wa Inna Ilaihi Rojiuun”, serentak saya dan Mas Yuli
mengucapkannya.
Setelah mengetahui ada tanda
pengenal pada dompet dari korban kecelakaan tersebut, kami pun bergegas menuju
alamat rumah korban kecelakaan itu, yang ternyata alamatnya masih di sekitar
wilayah Gintung Ciputat. Setelah menyampaikan semua informasi kepada
keluarganya, kami pun berpamitan dan kembali ke kantor Dompet Dhuafa.
Baju kami yang terkena tetesan darah, dan
bagian tengah mobil panther hijau yang teraliri banyak darah itu, semoga
menjadi saksi amal kebaikan Mas Yuli Pujihardi. Allahumaghfirlahu Warhamu
Wa’afihi Wa’fuanhu.
Ciputat, 220621
Ahmad Juwaini
31 July, 2020
Kembali Ke Kampung Halaman, Kembali Ke Kampung Abadi (In Memoriam Adib Zuhairi)
Kembali
ke desa dan membangun desa adalah salah satu tugas mulia bagi para perantau.
Kembali ke desa seringkali menjadi panggilan bagi insan yang sudah lama hidup
di kota. Panggilan itu semakin terasa ketika menyadari betapa kampung halamannya
banyak tertinggal atau punya permasalahan mendasar. Hal yang sama pernah
terjadi pada Adib Zuhairi.
Adib
Zuhairi adalah pemuda asal Desa Tumang, Cepogo, Boyolali Jawa Tengah yang sudah
bekerja di Jakarta. Tahun 1997, Adib sudah bekerja di perusahaan yang cukup
mapan dengan penghasilan yang memadai. Namun hatinya seringkali gelisah
memikirkan kondisi di kampung halamannya.
Desa Tumang
adalah sentra pengrajin tembaga. Kendati menjadi sentra pengrajin tembaga,
Kondisi warga Desa Tumang stagnan selama beberapa dekade. Permodalan sebagai
salah satu faktor penggerak, seringkali sulit mereka akses. Lembaga perbankan
yang ada kala itu enggan percaya kepada pengrajin di desa Tumang. Mereka
dianggap tak mampu menerima pembiayaan dari perbankan.
Minimnya
kepercayaan bank kepada warga Tumang pada saat itu, membuat mereka akhirnya
menggantungkan modal pada rentenir. Bukannya menjadi penolong, seringkali rentenir
akhirnya menjerat para pengrajin. Jangankan untung, pendapatan usaha, ludes
untuk menutup cicilan kepada rentenir. Keadaan ini membuat usaha para pengrajin
menjadi semakin terpuruk.
Pada
bulan Februari 1997, bertempat di rumah Soeryanto, di Kebayoran Baru, Jakarta
Selatang, berkumpul generasi muda Desa Tumang yang bekerja di Jakarta, antara
lain Mukhlas, Aris Munandar, Yunas, Mulyadi
dan Adib. Setelah mendiskusikan permasalahan yang ada di kampung halaman
mereka, mereka bersepakat membentuk BMT Tumang sebagai solusi.
Akan
tetapi, saat harus mencari orang untuk mengelola BMT Tumang, mereka menemui
persoalan. Ada orang yang bersedia, tapi tidak mempunyai kemampuan. Ada pihak
yang mempunyai kemampuan, tapi tak bersedia menjadi pengelola. Menurut Adib,
ini menjadi hambatan pokok. Kurang lebih satu tahun, rencana tersebut mandek,
alias tak mengalami perkembangan.
Pertengahan
Juni 1998, para perintis BMT Tumang pulang kampung dalam rangka Lebaran. Ada
pertemuan lanjutan, sekaligus reuni para perantau di kampung. Dari pertemuan
itu ada tambahan personil, seperti Munir Asrori, Edi Darmasto, serta Sismanto.
Mereka membicarakan lagi rencana pendirian BMT Tumang yang digagas setahun
sebelumnya.
Dalam
pertemuan itu, setelah didaulat, akhirnya Adib pun menerima mandat mengelola BMT
Tumang. Ia dipertemukan dengan Rifa’i Saleh Haryono, dari Kabupaten Klaten yang
memiliki pengalaman mengelola sejumlah BMT. Rifa’i mendorong Adib untuk tidak
kembali ke Jakarta dan diminta fokus mengelola lembaga ekonomi mikro tersebut.
Tekad
Adib menggebu ingin membuktikan semua dorongan semangat memperbaiki keadaan. Ia
bekerja keras bak ‘bakul jamu’, berkeliling dari rumah ke rumah, juga menyisir tokoh
agama dan tokoh masyarakat. Ia tiada henti melakukan sosialisasi, seperti para sales menawarkan dagangan. Aktivitas ini
dilakukan sekitar Juli 1998.
Pada
waktu bersamaan, saat itu ada program P3T (Proyek Penanggulangan Pengangguran
Tenaga Terampil) dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)
Kabupaten Boyolali. Direktur PINBUK Kabupaten Boyolali mendorong agar Adib,
Agus Wiratmo, Haris Darmawan, Joko Sriyanto, Yuni Widiyati, mendaftarkan diri.
Alhamdulillah,
kelima orang tersebut diterima untuk mengikuti pelatihan BMT se-Jawa Tengah di
Asrama Haji Donohudan, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali. Kelimanya,
memperoleh “gaji” Rp 300 ribu selama tujuh bulan. Setelah tujuh bulan selesai,
mereka tak menerima gaji lagi dari P3T melainkan langsung bekerja di BMT yang
hanya mampu memberi honor Rp 40 ribu per bulan.
Tepat
1 Agustus 1998, diadakan pertemuan lanjutan di rumah Ali Sya’ni, bersama para tokoh
setempat yang dianggap sukses secara ekonomi. Para “aghniya” ini diajak untuk
mendukung pendirian BMT Tumang. Mereka
selanjutnya mendukung pendirian BMT dengan memberi iuran Rp 500 ribu. Hingga
terkumpul simpanan pokok Rp 7.500.000. Uang Rp 7,5 juta inilah yang menjadi
modal awal pendirian BMT Tumang.
Waktu
terus berlalu. BMT Tumang telah berkembang. Dari merangkak, tertatih-tatih,
berjalan dan berlari. Tidak sedikit terjatuh dan nyaris melemahkan semangat dan
ingin berhenti. Namun dorongan untuk menolong masyarakat, serta keinginan
mengembangkan ekonomi syariah, selalu memanggil Adib beserta rekan-reknnya
untuk kembali dan bangkit guna bekerja dan mengembangkan BMT Tumang.
Kini,
22 tahun telah berlalu sejak awal pendirian. Pada bulan Maret 2020, Kantor
cabang KSPPS BMT Tumang telah mencapai 24 kantor cabang yang tersebar di
Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah aset
yang saat pendirian hanya sebesar 7,5 juta, saat ini sudah lebih dari 230 Miliar.
Adapun nasabah yang pada waktu pendirian hanya beberapa orang, kini nasabah yang
dilayani oleh BMT Tumang sudah lebih dari 20.000. Pada tahun 2017, KSPPS BMT
Tumang telah mendapatkan penghargaan sebagai 100 Koperasi Besar Indonesia.
Hari Sabtu, 25 Juli 2020, pukul
20.45, Adib Zuhairi menghembuskan nafasnya yang terakhir di RS Moewardi Solo. Setelah
kembali ke kampung halaman untuk berjuang mendirikan dan mengembangkan BMT, Adib
Zuhairi akhirnya, harus kembali ke kampung abadi, yaitu ke akhirat. Semoga
Allah memberikan tempat di surga atas segala dedikasi dan perjuangannya dalam
mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah.