28 January, 2007

SELIMUT HATI

Bagai rantai yang tak terputus, di wilayah Indonesia ini, kita menyaksikan berbagai keajaiban luar biasa yang desain oleh Yang Maha Kuasa. Pertama kita telah ditimpa tsunami yang bisa disebut sebagai bencana alam terbesar abad ini. Bagai tanpa aba-aba, gelombang lautan besar sebagai akibat terjadinya gempa telah menenggelamkan ratusan ribu jiwa. Para ahli meteorologi dan geofisika dibuat tak berdaya, bahkan sekedar untuk memberikan prediksi awal.
Menyusul kemudian bencana lumpur di Porong Sidoarjo, yang sampai kini telah melewati waktu delapan bulan, masih belum bisa diatasi. Meskipun banyak para ahli geologi telah dilibatkan untuk mempelajari penyebab dan menemukan cara mengatasinya, namun sampai sekarang hal itu tak kunjung didapatkan. Kita semua bagai kehabisan pengetahun dan konsep untuk sekedar menjelaskannya.
Yang terakhir adalah terjadinya “penghilangan” kapal KM Senopati dan Pesawat Adam Air dengan No. Penerbangan KI 574 Jurusan Surabaya - Manado. KM Senopati yang tenggelam di perairan dekat Pulau Mandalika, Jepara, hanya mampu kita beri alasan karena terhantam gelombang. Lebih dari 300 penumpangnya sampai hari ini tidak diketahui nasibnya. Usaha pencarian telah dilakukan selama hampir satu bulan penuh dengan mengerahkan semua kekuatan yang kita miliki, termasuk kapal selam. Akan tetapi sampai hari ini bangkai kapal itu masih belum kunjung ditemukan.
Sementara Pesawat Adam Air kita coba uraikan penyebabnya adalah badai di udara, karena kehilangan arah, kemudian hilang tak tahu kemana perginya. Meskipun telah ditemukan berbagai barang yang diduga sebagai serpihan pesawat adam air, akan tetapi badan pesawat itu sampai hari ini belum ditemukan. Padahal usaha pencarian sudah dilakukan oleh personil dalam jumlah yang mencapai ribuan orang, menggunakan berbagai kapal perang yang canggih. Bahkan sudah dibantu oleh para ahli dari Singapura dan Amerika. Khusus dari Amerika didatangkan kapal USNS Mary Sears untuk ikut mendeteksi keberadaaan badan pesawat. Tetapi sudah 25 hari dilewati, hasilnya badan pesawat belum juga diketemukan.
Peristiwa-peristiwa hebat yang telah terjadi itu, seringkali dirasakan oleh kita sebagai sesuatu yang biasa saja. Rasio kita sering merespon lebih cepat dan lebih banyak, sehingga yang timbul kemudian hanyalah apresiasi logika semata. Tak ada jejak secuil pun yang kemudian hinggap dan bersemayam dalam hati kita. Peristiwa yang sarat makna tersebut, tidak mampu menggetarkan kesadaran iman kita. Sebuah peristiwa luar biasa yang seharusnya memiliki dampak kepada hati kita, ternyata tidak berpengeruh apa-apa. Kita tentu perlu waspada, jangan-jangan itu semua karena hati kita telah tertutup oleh selimut.
Rasulullah saw pernah bersabda bahwa manakala setiap insan melakukan sebuah perbuatan dosa, maka akan muncul satu titik hitam di dalam hati kita. Dan manakala dosa tersebut semakin bertambah banyak, maka titik hitam itu semakin meluas. Sampai kemudian titik hitam itu mulai menutupi hati kita. Jadilah ia seperti selimut yang menghalangi hati kita. Sehingga apabila hati manusia sudah terselimuti oleh perisai hitam, maka menjadi sulit hati ini untuk memendarkan kebeningan. Gelombang peringatan dan fenomena yang penuh keajaibaan pun tidak mampu ditangkap oleh hati yang dipenuhi selimut hitam.
Hati yang sudah terselimuti tidak mampu menangkap sinyal kebesaraan Allah SWT di balik peristiwa. Hati seperti ini tidak terpengaruh lagi oleh beban penderitaan dan isak tangis mereka yang kekurangan. Juga sudah tidak berdampak segala kesedihan dan air mata dari para anak yatim yang kelaparan dan tak memiliki masa depan. Puncaknya bahkan sudah tidak peduli dengan segala keadaan masyarakat dan negara.
Menjejaknya kita di awal tahun 1428 Hijriyah ini adalah momentum bagi kita untuk mulai membersihkan kembali hati kita. Noda-noda yang menyelimuti harus mulai kita beningkan dengan ketundukan, kepasrahan dan pengabdian kepada-Nya. Semoga pada hari-hari yang akan datang selimut hati kita telah berganti dengan cahaya keimanan dan kepedulian. Wallahu A’lam !

18 January, 2007

KODE ETIK AMIL ZAKAT

Amil zakat adalah profesi yang semestinya selalu ada dalam kehidupan umat Islam. Keharusan adanya ditentukan oleh Allah Rabbul Alamin melalui wahyu-Nya dalam Al-Qur’an. Amil zakat betugas menjadi mediator bagi sirkulasi zakat dari muzakki kepada mustahik. Jika tiada amil zakat, maka robohlah tiang penyangga pengelolaan dana Zakat.

Berkait dengan amil zakat, seorang kawan bercerita tentang bergeloranya lembaga-lembaga zakat di sebuah kota dalam mengumpulkan zakat pada bulan Ramadhan. Karena begitu atraktifnya melakukan sosialisasi, maka di berbagai sudut kota bertaburan media promosi dari beberapa lembaga zakat. Malangnya kemudian muncul ekses kompetisi yang tidak sehat. Sebuah spanduk dari lembaga zakat “ditimpa” oleh spanduk lembaga zakat yang lain. Di kota lain, satu lembaga zakat, menghambat lembaga zakat lain yang hendak presentasi di sebuah perusahaan yang selama ini sudah menjadi “langganan” lembaga tersebut.

Fenomena di atas menunjukkan perlunya dipahami kode etik amil zakat. Yaitu sebuah panduan perilaku yang harus dijiwai oleh setiap orang yang terlibat mengelola zakat. Dengan kode etik amil zakat maka setiap orang dan lembaga akan terbimbing untuk berperilaku positif dan mendukung terhadap setiap upaya pengembangan zakat. Bukan sebaliknya menjadi kerdil dan menganggap bahwa mengelola zakat adalah urusan beberapa gelintir orang atau satu lembaga saja.

Kode etik amil zakat akan membentuk amil zakat yang memandang bahwa mengelola zakat adalah amanah yang sangat besar dari Allah SWT dan harus dilakukan dengan penuh kesungguhan. Tugas mulia mengelola zakat betul-betul dilandasi semangat beribadah dan pengabdian kepada Allah Rabbul Alamin. Karena jiwa keikhlasan yang mendalam, maka amil zakat akan menampilkan perilaku pengelolaan zakat yang sesuai dengan apa-apa telah digariskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Hasilnya adalah penampakan akhlaq yang mulia dalam mengelola zakat.

Beberapa bentuk perilaku yang dapat dijadikan kode etik amil zakat antara lain adalah :
1. Bekerja Ikhlas karena Allah
2. Menjadikan Syariat Zakat sebagai panduan pengelolaan
3. Melayani sepenuh hati kepada muzakki dan mustahik
4. Memiliki jiwa santun dan kemanusiaan, khususnya dalam membantu orang-orang miskin.
5. Memandang kompetisi dengan sesama lembaga zakat adalah perlombaan dalam kebaikan, sehingga saling menghargai dan menghormati.
6. Senantiasa transparan dan Akuntabel
7. Senantiasa memperbaiki diri, sehingga kinerja dari waktu ke waktu semakin meningkat
8. Senantiasa mendo’akan muzakki sebagai bentuk penghormatan kepada orang-orang yang telah memberikan sebagian hartanya guna menolong orang lain.

Khusus untuk melaksanakan kode etik tentang mendoakan muzakki, di lembaga kami setiap pagi dengan hati tulus dan bibir bergetar, kami memanjatkan do’a : “Ya Allah berikanlah pahala dari apa yang telah donatur Infaqkan, jadikanlah harta tersebut sebagai pensuci mereka. Dan berikanlah keberkahan atas harta mereka yang tersisa.” Amin..

IMUN BENCANA

Negeri kita, memang tidak salah disebut “Negeri Seribu Bencana”, karena di negeri kita ini bencana datang silih berganti. Bukan hanya bencana yang kecil-kecil, akan tetapi juga yang besar-besar.Bahkan bencana terbesar abad ini juga terjadi di negeri kita.

Rasanya belum kering air mata kita tumpah, saat bencana Tsunami menerjang Aceh dan Nias. Ratusan ribu nyawa melayang dan ribuan orang yang mengalami luka-luka. Ratusan ribu pengungsi beratap tenda bertaburan dimana-mana. Ornamen kesedihan dan kepedihan mengaliri rongga dada anak negeri ini.

Belum usai kita mengembalikan rumah dan sarana umum di Aceh dan Nias seperti semula, bencana lain sudah terjadi lagi. Susul menyusul bencana itu mengunjungi negeri zamrud khatulistiwa ini. Dari mulai banjir kediri, longsor di Banjar negara, banjir di Menado, kelaparan di Papua dan kekeringan di Nusa Tenggara Timur.

Bahkan dalam dua bulan terakhir ini, rangkaian bencana tersebut bagai mengalami akselerasi. Mulai dengan gelegak Merapi yang terus menimbulkan ancaman sampai hari ini. Sampai kemudian terjadi gempa di Jogja dan Jateng yang menewaskan lebih dari 6000 orang. Diikuti bencana lumpur di Porong Jatim dan ditimpali oleh bencana banjir dan longsor di Sulawesi Selatan. Korban terbesar banjir di Sulsel ini adalah di Sinjai yang menewaskan lebih dari 200 orang.

Rupanya bencana banjir masih terus berlanjut di Gorontalo, Kalsel, Balikpapan dan Bolang Mongondow Sulut. Kita tidak tahu, dimana lagi bencana ini masih akan terjadi. Kita tentu tidak mengharapkan ada bencana lagi. Mudah-mudahan cukuplah bencana ini sampai di sini.

Karena begitu sering dan bertubi-tubinya bencana terjadi, ada perubahan dalam diri kita yang tanpa disadari. Perubahan itu saya sebut sebagai “Imun Bencana”. Yaitu suatu keadaan dimana kita kehilangan atau kekurangan solidaritas, empati dan rasa terguncang akibat penderitaan orang.

Ketika terjadi Gempa Jogja dan Jateng yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa, perasan kita adalah : “Meninggal 6000 orang belum ada apa-apanya dibandingkan lebih dari 250.000 jiwa di Aceh”. Ketika di Sinjai tewas lebih dari 200 orang, respon kita : “Dua Ratus orang adalah sangat kecil dibandingkan korban Gempa di Jogja dan Jateng”. Puncaknya adalah kehilangan nyawa manusia atau berdarah-darahnya luka akibat bencana telah menjadi pemandangan amat biasa bagi kita. Apalagi cuma derai air mata kesedihan dan kering kerontang tubuh manusia sebagai akibat bencana adalah gambaran sederhana yang sudah tidak memiliki pengaruh apa-apa kepada kita.

Munculnya Imun Bencana, mungkin disebabkan karena kita sudah merasa menghabiskan begitu banyak solidaritas. Sudah amat banyak bantuan yang coba kita ulurkan. Sudah sangat banyak peduli dan empati yang kita bagikan. Bahkan airmata kesedihan dari kita sudah habis kita teteskan. Puncaknya bahkan perasaan kitapun sudah mulai digerogoti sehingga habis tak tersisa.

Saya jadi teringat pada Hadits Nabi saw yang berbunyi : “Jika kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tanganmu. Jika kalian tidak sanggup, maka rubahlah dengan lisanmu. Dan kalau tidak sanggup juga dengan lisan, maka rubahlah dengan hati kalian. Dan itu adalah selemah-lemah iman.”

Jadi kalau dengan adanya berbagai bencana yang terjadi ini, kita sudah tidak sanggup membantu korban bencana dengan harta, tenaga, pikiran, atau sekedar meneteskan airmata, tapi janganlah matikan hati kita untuk terus peduli dan empati. Jangan biarkan Imun Bencana tumbuh subur dan bersemayam di hati kita. Karena hati yang masih peduli dan empati adalah benteng terakhir yang masih kita miliki. Dan meskipun itu juga simbol selemah-lemah iman kita !

14 January, 2007

ESENSI SEDEKAH

Pada sebuah pelatihan penggalangan dana masyarakat, seorang peserta ada yang bertanya : “Berapakah jumlah potensi sedekah masyarakat Indonesia ? Saya menjawab : “Kalau secara sederhana, dapat saya katakan, bisa mencapai sepertiga dari jumlah total penghasilan masyarakat Indonesia.” Mengapa demikian ? Karena pada dasarnya jumlah potensi sedekah masyarakat bersifat lentur, sangat tergantung kepada tiga faktor, yaitu pandangan atau keyakinan masyarakat, situasi atau kondisi yang sedang terjadi dan besar dana yang berputar di masyarakat.

Sebagai contoh, seorang muslim punya kewajiban dasar atas penghasilan dan hartanya yaitu mengeluarkan zakat 2,5 persen, tapi apabila ternyata setelah membayar zakat ada tetangganya kelaparan yang bisa berakibat kematian, maka atas diri seorang muslim yang sudah mengeluarkan zakat tersebut, muncul kewajiban infak guna menolong tetangganya. Sehingga kalau terus muncul “kebutuhan” untuk menolong orang lain, maka besar dana yang didermakan orang tersebut juga terus meningkat.

Peningkatan besar sedekah masyarakat dapat kita lihat pada minggu-minggu awal terjadi bencana Tsunami di Aceh. Pada saat itu, sebagian besar masyarakat Indonesia telah berubah menjadi masyarakat sedekah. Di hampir semua perempatan jalan strategis kota-kota besar, masyarakat menghimpun sumbangan. Berbagai lembaga, perusahaan dan kelompok masyarakat mengumpulkan sedekah. Waktu itu, banyak keperluan masyarakat telah bergeser atau diubah untuk membantu masyarakat yang menjadi korban tsunami.

Sehingga secara individual, dapat kita sebut bahwa esensi dari bersedekah adalah mengubah sebagian kebutuhan hidup yang tidak penting menjadi sedekah. Esensi berderma adalah menukar keperluan kita (yang asesoris) untuk menolong orang lain. Substansi sedekah adalah mendahulukan kepentingan lain dari keperluan kita yang tidak penting guna meraih kemuliaan di hadapan Allah SWT.

Kalau setiap orang memiliki kesadaran untuk “mengerem” sedikit saja keperluan asesorisnya dan ditukar dengan bentuk lain yang lebih strategis dan bermanfaat bagi umat, maka hasilnya luar biasa. Sebagai contoh, kalau setiap orang yang hendak belanja permen bergetar tangannya, dan ingat bahwa uang untuk membeli permen itu bisa digunakan untuk sedekah. Maka dalam setahun, tidak kurang dana 200 Milyar belanja permen orang Indonesia bisa dialihkan untuk mendirikan dan membiayai operasional dua rumah sakit gratis untuk orang miskin. Atau setara dengan mendirikan dan membiayai operasional 20 sekolah unggulan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.

Dalam kaitan mendahulukan urusan lain atau orang lain ini, diceritakan bahwa pada suatu hari di Madinah Rasulullah kedatangan tamu. Setelah tamu tersebut mengeluhkan masalah dan kesulitan hidupnya, maka Rasulullah menanyakan kepada istri-istri beliau : “Adakah sesuatu untuk menjamu tamuku ?” Ternyata jawaban dari istri-istri Rasulullah adalah :”Tidak ada, kecuali air.” Akhirnya Rasulullah bertanya kepada para sahabat yang sedang berkumpul dalam suatu majelis : “Siapakah di antara kalian yang bersedia menjamu tamuku ?” Seorang sahabat dari golongan Anshor menjawab “Saya ya Rasulullah !” Akhirnya tamu itu dibawa ke rumah sahabat Anshor tersebut. Kepada istrinya sahabat Anshor itu berkata :”Muliakanlah tamu Rasulullah itu. Hidangkan apa saja yang engkau punya.” Istrinya menjawab :”Aku tidak mempunyai sesuatu apapun untuk menjamunya, kecuali jatah makan anak-anak kita malam ini.” Akhirnya mereka menghidangkan jatah makan anak-anaknya kepada tamu tersebut. Dan sebagai akibatnya mereka semalaman harus menenangkan anak-anaknya yang mengeluh lapar. Esok harinya saat mengantar tamu tersebut, Rasulullah berujar : “Sungguh Allah mengagumi perbuatanmu terhadap tamumu semalam”. Saat itu turunlah wahyu Surat Al-Hasyr : 9 yang artinya : “Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Mereka adalah orang-orang yang beruntung.”

DALAM TUBUH SEHAT ADA JIWA SAKIT

Mungkin tak banyak orang yang mengenal Sulastri, wanita separuh baya. Sudah tujuah tahun ia mengidap tumor ganas di keningnya. Tumor yang sebesar apel merah tepat di dahinya itu, selalu menghalanginya ketika bersujud dalam shalatnya. Derita tumor itu ditanggungnya bertahun-tahun karena tak kuasa untuk memeriksakannya ke dokter. Jangankan untuk mengobati penyakit, untuk makan sehari-haripun ia merasa tidak cukup.
Coba bandingkan dengan Yanti, gadis muda yang beruntung memiliki keluarga berada. Jerawat kecil yang baru mulai tumbuh di pipi saja, siang malam membuatnya tidak bisa tenang. Berbagai ramuan kesehatan, sampai aneka obat dicobanya untuk menghilangkan jerawatnya itu. Tidak lupa pula dikunjungi dokter spesialis kulit terhebat di kotanya, meski ia harus menanggung biaya yang tidak sedikit. Bagi Yanti, jerawat di pipi adalah malapetaka besar pada masa remajanya. Beruntung bagi Yanti memiliki orang tua kaya, biaya kesehatan asesoris yang besar pun tidak jadi masalah. Tapi bagi Sulastri, Tumor yang sudah mengancam kehidupannyapun seperti tak kuasa menggerakkannya untuk menikmati layanan kesehatan. Sungguh malang nasib Sulastri.
Paradoks kehidupan seperti dialami Sulastri dan Yanti adalah potret kehidupan kita sehari-hari. Pembengkakan biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat bagai tak berkesudahan. Entah memang karena alasan semakin mahalnya biaya bahan baku farmasi, biaya proses produksi yang semakin tinggi, meningkatnya biaya pendidikan menjadi dokter atau karena besarnya bonus dan fasilitas yang harus diberikan apotik dan perusahaan obat kepada dokter. Ujungnya pasienlah yang harus menanggung semua itu. Bagi masyarakat yang mampu, mahalnya biaya kesehatan mungkin tidak berpengaruh banyak. Tapi bagi masyarakat menengah bawah, sungguh ini terasa sangat memberatkan.
Tentu saja pemerintah telah berusaha keras mencoba mengatasi masalah ini. Misalnya dengan memberikan layanan kesehatan murah di puskesmas dan rumah sakit-rumah sakit pemerintah. Tapi masalahnya, banyak layanan tersebut yang dilakukan dengan seadanya. Jumlahnya pun masih terbatas, sehingga pasien setiap hari harus antri berkepanjangan dalam jumlah jam praktek yang semakin menipis. Tidak sedikit kejadian, sejumlah empat atau lima pasien diperiksa secara “kolektif” oleh satu dokter sekaligus dalam satu panggilan periksa. Tanpa ulasan senyum sama sekali, pelayanan kesehatan berombongan ini ditempuh untuk mempercepat proses pelayanan. Mungkin karena dokternya masih banyak urusan, termasuk praktek di tempat lain yang bayarannya lebih mahal.
Pemerintah pun telah mengembangkan obat generik untuk menekan laju kemahalan obat. Tapi bagi sementara kalangan, penggunaan obat generik dianggap sebagai penurunan kelas dan prestise. Dokter yang menulis resep untuk obat generik juga seringkali penuh pandangan iba kepada pasien yang meminta obat generik. Seolah-olah pengguna obat generik adalah kelas masyarakat yang perlu dikasihani. Tentu saja ini semua membuat setiap orang yang ingin meminta dibuatkan resep obat generik menjadi tidak nyaman, kecuali bagi mereka yang sangat terpaksa.
Untuk mengurangi tekanan derita masyarakat menengah bawah, sudah saatnya apabila pemerintah membebaskan biaya layanan kesehatan di seluruh puskesmas di Indonesia yang disertai dengan peningkatan kualitas layanan bagi semua pasien. Kebijakan ini juga merupakan perwujudan puskesmas sebagai layanan kesehatan dasar bagi masyarakat menengah bawah. Pemerintah juga harus membebaskan biaya layanan kesehatan di semua rumah sakit umum bagi pemilik kartu Gakin (Keluarga Miskin) untuk semakin memberikan kemudahan bagi orang miskin dalam menikmati layanan kesehatan.
Akhirnya kebijakan ini juga harus didukung oleh semua pihak, khususnya kalangan menengah atas. Misalnya dengan turut serta dalam pendirian dan pengembangan unit-unit kesehatan bermutu bagi orang miskin tanpa memungut biaya. Kita patut bersyukur karena kita mampu menikmati layanan kesehatan, sehingga badan kita menjadi sehat. Tapi tidak cukup badan kita sehat, kitapun harus harus memiliki jiwa yang sehat. Yaitu jiwa yang selalu peduli dengan nasib sesamanya yang kesulitan. Bukan sebaliknya, dalam tubuh kita yang sehat, tapi di dalamnya ada jiwa yang sakit.

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PARTAI

Pada Munas PKS yang lalu, dalam sambutan penutupan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memuji PKS sebagai partai “paling” peduli. PKS dikenal sebagai partai yang banyak membantu masyarakat kecil. PKS terbiasa mengadakan santunan, bakti sosial, bazar amal dan tentu saja melakukan kegiatan respon bencana. Tradisi kepedulian PKS mudah-mudahan bukan semata karena kepentingan mendulang suara dalam pemilu dan pilkada, tetapi betul-betul lahir dari tanggung jawab sosial terhadap masyarakatnya.

Sebagaimana Corporate Social Responsibility (CSR), maka tradisi kepedulian PKS bisa menjadi pemicu berkembangnya wacana Party Social Responsibiliy (PSR). Meskipun tidak bersih dari pro – kontra sebagaimana CSR, maka PSR akan menemukan akar perkembangannya melalui pendalaman peran yang bisa dilakukan oleh PKS. Dimana menjadi kewajiban PKS untuk menemukan jatidiri peran kepeduliannya secara substantif, bukan terjebak pada sesuatu yang artifisial.

Dan hari-hari ini, kesejatian peran kepedulian PKS sedang diuji oleh realitas masyarakat kecil yang sedang menderita. Sejak dipicu oleh kenaikan BBM, sebagian besar masyarakat menengah bawah sedang merintih karena tekanan hidup yang cukup menyiksa. Dalam kondisi seperti ini masyarakat ingin melihat bagaimana keluarga besar PKS melakukan pembelaan yang nyata terhadap nasib masyarakat kecil. Bukan dalam bentuk asesoris seperti dalam bentuk bakti sosial, bazar amal atau sejenisnya, tetapi dalam bentuk yang strategis seperti perubahan kebijakan yang menolong nasib orng miskin.

Pernah seorang kawan menuturkan bahwa anggota legislatif dari PKS sudah memperjuangkan agar BBM tidak dinaikkan. Tapi karena konfigurasi suara partai politik di legislatif dominan menyetujui kenaikan BBM, maka PKS harus mengambil langkah taktis efektif. Dan terjadilah keputusan kenaikan BBM tersebut. Masalahnya adalah, jika selalu yang diambil oleh PKS adalah jalan taktis efektif, maka publik akan mempersepsi bahwa PKS “terlarut” ke dalam bagian besar pengambil kebijakan yang membuat masyarakat menderita.

Masyarakat justru ingin melihat bahwa PKS mengambil langkah perjuangan yang maksimal. Masyarakat ingin melihat bahwa PKS menampilkan pembelaan yang habis-habisan dalam melindungi nasib masyarakat kecil. Misalkan dengan melakukan Walk Out (WO) pada saat terjadi pengambilan keputusan untuk menaikkan BBM. Meskipun langkah WO tersebut tidak akan membuat penolak kenaikan BBM menang, tetapi setidaknya masyarakat mengetahui bahwa PKS telah memperjuangkan semaksimal mungkin. Dan bukankah perjuangan sejati tidak dinilai oleh memang dan kalah ? Tetapi dinilai dari kesetiaan terhadap jalan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan ?

Saat ini, masyarakat terus mengamati bagaimana tindak lanjut PKS dalam menyikapi realitas kekinian. Apakah PKS mampu menunjukkan diri sebagai partai bersih dan peduli yang sejati, ataukah slogan itu hanya menjadi pemanis untuk memikat pemilih saja. Masih banyak waktu bagi PKS untuk memperbaiki dan mengambil langkah yang tepat. Jangan menunggu sampai masyarakat kecewa dan memasukkan lagi PKS dalam daftar partai sebagaimana biasanya. Jangan sampai masyarakat mempersepsi : tidak ada bedanya apakah partai Nasionalis, partai Tengah, partai Islam atau partai Peduli, kalau sudah duduk di legislatif dan eksekuif, mudah melupakan pemilihnya yang mayoritas masyarakat kecil. Naudzubillahi min dzalik !

MEWUJUDKAN SERAMBI MADINAH PASCA TSUNAMI

Bencana Tsunami yang telah meluluhlantakkan Aceh adalah sebuah sejarah kelam bagi masyarakat di wilayah Serambi Mekkah. Dampak mega bencana tersebut bukan hanya merusakkan segala fasilitas fisik dan tata kehidupan secara lahiriah, tetapi juga memporak-porandakan bangunan sosial, nilai-nilai dan budaya yang telah ada. Bencana Tsunami telah memunculkan suasana baru dalam skala akibat persoalan yang sangat luas.

Dibalik segala derita yang menyertainya, bencana Tsunami juga adalah sebuah berkah tersendiri bagi masyarakat Aceh. Dengan terjadinya bencana tsunami, maka mata dunia telah menoleh. Solidaritas global telah dibangkitkan. Uluran tangan dan bantuan telah dialirkan. Ratusan Ribu manusia berbagai bangsa telah datang untuk menyaksikan sendiri akibat malapetaka tersebut. Berbagai negara dan organisasi menyiapkan program guna turut serta membantu masyarakat Aceh. Pemerintah Indonesia pun mengucurkan dana puluhan trilyun untuk memulihkan kondisi. Dibantu dengan dana trilyunan dari berbagai negara yang terlibat membantu Aceh.

Kedatangan berbagai macam manusia dan bantuan ke Aceh tentu saja telah meringankan sebagian tangis pilu masyarakt Aceh. Sebagian besar pengungsi yang tinggal di tenda-tenda kini telah kembali bertempat tinggal, baik pada hunian sementara maupun rumah permanen. Sebagian besar masyarakat yang kehilangan mata pencaharian, kini telah bekerja atau berusaha lagi. Wajah-wajah kelu yang menyemburatkan luka jiwa, kini telah bertukar dengan keceriaan dan gairah untuk melanjutkan hidup kembali. Anak-anak sekolah kini sudah bergembira dalam riang belajar bersama teman dan guru-guru.

Sawah-sawah kini mulai ditanami. Pasar dan pertokoan telah hidup kembali. Kantor-kantor telah dihiasi lalu lalang pegawai berseragam yang menenteng kertas dan berkas untuk mengisi kesibukan. Dayah dan meunasah telah menggeliat lagi dengan warna ibadah dan menderas ilmu-ilmu agama. Masjid Baitur Rahman di pusat kota Banda Aceh tampak telah berjubel lagi ketika waktu sholat jum’at tiba. Di Berbagai wilayah dan kawasan tampak pembangunan baru atau sekedar merenovasi gedung sedang dilakukan. Jalan-jalan pun diperbaiki dan dibentangkan lagi menyusuri Tanah Rencong dari mulai Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan. Roda kehidupan masyarakat Aceh terus berderap.

Penataan kembali Aceh pasca Tsunami yang tampak semakin baik, bukan berarti tanpa persoalan. Berbagai masalah masih menghiasi. Seperti lambatnya pembangunan sarana infrastruktur, belum efektifnya penataan sistem adminitrasi pemerintahan, ketidakjelasan atau tumpang tindihnya pengaturan kewenangan, penyalahgunaan dan penimbunan bantuan, termasuk masalah pungli dan korupsi yang masih terjadi.

Masalah-masalah lain yang juga masih ditemui adalah pergaulan bebas, kriminalitas, judi, peredaran minuman keras, ganja dan narkoba. Yang juga cukup mengganggu adalah derasnya kegiatan pemurtadan yang dilakukan baik oleh organisasi lokal maupun internasional. Berbagai cara ditempuh untuk mengikis dan menukar keyakinan dan pemahaman yang dimiliki masyarakat sebagai warisan budaya Islam yang cukup lama hidup di Aceh. Menjadi tugas semua pihak untuk mengatasi masalah-masalah yang masih terhadi di Aceh.

Quo Vadis Aceh Pasca Tsunami ?
Kini, setelah setahun Tsunami berlalu, kita dihadapkan dengan sebuah pertanyaan besar : Mau kemana Aceh ini kita arahkan ? Apakah kita biarkan saja semua instansi, lembaga dan organisasi melakukan apa saja di Aceh, yang penting semuanya bertujuan menolong masyarakat Aceh ? Apakah kita biarkan semua orang dan semua lembaga untuk menyusun sendiri arah dan tujuan programnya di Aceh, tanpa ada kendali singkronisasi dan kordinasi ? Tidak adakah suatu tujuan bersama tentang Aceh masa depan yang bisa menjadi platform bersama ?

Pertanyaan mengenai mau kemana Aceh kita arahkan menjadi sangat penting untuk dijawab. Karena dengan masuknya berbagai manusia dan organisasi yang membawa berbagai macam kepentingan seringkali membuat kita tidak percaya diri. Apalagi kalau yang datang tersebut adalah lembaga-lembaga donor yang mau mengucurkan dana, maka tiba-tiba saja kita menjadi orang yang bisu dan lebih banyak melayani apa maunya pemberi bantuan.

Tentu saja, sudah ada Blue Print Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh yang disusun guna mengkompilasi keinginan menata Aceh pasca Tsunami. Tapi masalahnya di tingkat implementasi, apakah blue print itu sudah memadai ? Dan kalaupun memang sudah memadai apakah pada tingkat pelaksanaannya sudah konsisten dan sesuai dengan apa yang tersebut di dalamnya. Seringkali Blue Print tersebut hanya menjadi setumpuk kertas yang tidak memiliki daya sama sekali dalam tekanan situasi dan realitas yang harus dihadapi.

Tanpa adanya panduan arah masa depan Aceh yang jelas, maka berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di Aceh akan menjadi centang perenang tanpa arah. Bagaikan sebuah kanvas lukisan putih yang digambari oleh banyak pelukis, dimana satu pelukis dengan pelukis yang lain, tidak saling berkomunikasi dan berkordinasi. Tentu saja hasil yang ada di lukisan tersebut hanyalah sekumpulan goresan yang tidak bermakna apa-apa, kecuali makna bahwa semua orang telah melukis.

Sudah saatnya kita menjelaskan arah masa depan Aceh pasca Tsunami. Kejelasan arah ini akan memudahkan kita untuk melaksanakan program-program. Kejelasan arah juga akan memudahkan setiap orang dan setiap lembaga untuk memberikan kontribusi yang sinergis dalam mewujudkan mimpi Aceh masa depan.


Dari Serambi Mekkah menuju Serambi Madinah
Dalam perjalanan pembangunan masyarakatnya, Nabi Muhammad saw memulai dari kota Mekkah. Mekkah adalah simbol penegasan dan penguatan keyakinan, melalui simbolisasi Ka’bah yang diwarisi dari ajaran Tauhid Nabi Ibrahim. Masyarakat Mekkah yang diliputi dengan berbagai kejahiliyahan dirubah oleh Nabi saw untuk kembali pada Iman yang lurus, melaksanakan ibadah yang pokok dan pembangunan akhlaq yang mulia.

Selanjutnya dalam perkembangan perubahan masyarakatnya, Rasulullah saw berhijrah dari Mekkah menuju Madinah. Madinah adalah simbol pembangunan masyarakat dan tegaknya peradaban mulia. Madinah adalah kota metropolitan bagi tumbuhnya sistem ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya yang sejahtera. Madinah juga simbol tata pergaulan masyarakat internasional yang saling menghargai di atas landasan nilai-nilai ajaran Islam.

Berkaca dari sejarah perjalanan Nabi Muhammad saw tersebut, sudah saatnya apabila pembangunan Aceh pasca Tsunami dirubah dari citra Serambi Mekkah menjadi Serambi Madinah. Yaitu citra yang bukan semata-mata relijius semata, akan tetapi relijiusitas itu telah dimplementasikan dalam sistem masyarakat Aceh yang nyata. Dengan demikian pembangunan Aceh diarahkan menjadi wilayah yang maju, modern dan sejahtera secara lahiriah, sekaligus di dalamnya dibangunkan nilai-nilai, aturan dan sistem yang berlandaskan kepada ajaran Islam.

Arah citra Serambi Madinah ini juga semakin relevan dengan rencana strategis menjadikan kota Banda Aceh menjadi kota internasional. Dimana saat ini Bandara Banda Aceh juga sedang diperbaiki menjadi bandara internasional, sarana, prasarana dan fasilitas kota juga diperbaiki untuk memenuhi standar kota internasional. Termasuk juga rencana menjadikan seluruh Banda Aceh sebagai kota dengan akses internet wireless (Hot Spot) gratis pertama di Indonesia.

Akan tetapi seluruh kemajuan dan kesejahteraan lahiriah Aceh tersebut harus tetap bersendikan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Yaitu dengan cara menerapkan pelarangan judi, minuman keras, ganja dan narkoba serta pelarangan pergaulan bebas dan perzinahan. Juga dengan diterapkannya pemakaian busana muslim. Kesemuanya itu dibingkai dengan Akhlaq yang mulia beserta keramahan dan kesopanan yang tinggi dari warga Aceh. Semoga semua ini segera terwujud, sehinga suatu hari kita bisa menyampaikan kepada setiap tamu yang datang di Aceh : “Selamat Datang di Serambi Madinah !”

10 January, 2007

PROFESI AMIL ZAKAT

Amil zakat adalah profesi yang semestinya selalu ada dalam kehidupan umat Islam. Keharusan adanya ditentukan oleh Allah Rabbul Alamin melalui wahyu-Nya dalam Al-Qur’an. Amil zakat betugas menjadi mediator bagi sirkulasi zakat dari muzakki kepada mustahik. Jika tiada amil zakat, maka robohlah tiang penyangga pengelolaan dana Zakat. Amil zakat selayaknya hadir sebagai salah satu profesi mulia, sebagaimana posisi Nabi, Ulama atau Ulil Amri (pemerintah).

Tapi cobalah kita bertanya kepada anak-anak berusia di bawah sepuluh tahun, “Apakah cita-cita mereka ?” Jawabannya, Insya Allah tidak ada yang menjawab “Amil Zakat”. Karena sampai saat ini, amil zakat belum tercantum dalam literatur profesi di Indonesia. amil zakat belum dikenal sebagai profesi standar sebagaimana dokter, insinyur atau akuntan. Sampai kinipun belum ada ikatan profesi amil zakat. Kalaupun sekarang ini ada amil zakat, citranya sangat marjinal dan jauh dari profesional.

Mengapa Amil zakat belum dikenal sebagai profesi yang mulia ? Ada beberapa faktor penyebabnya, yaitu Pertama, mayoritas pengelolaan zakat masih dilakukan sebagai kepanitiaan. Khususnya pada akhir bulan Ramadhan, banyak masjid, pesantren dan organisasi Islam mempraktekkannya. Selesai Idul Fitri, maka berakhir pulalah “status” amil zakat ini. Jadi profesi amil zakat hanya muncul sekejap.

Kedua adalah karena banyak amil zakat hanya menjadi profesi sambilan. Sambil mengerjakan pekerjaan utama sebagai pegawai sebuah kantor, ikut membantu mengelola zakat. Sambil menjadi pejabat, turut serta mengelola zakat. Bahkan tidak sedikit juga yang melakukan sambil menjadi pengusaha, cendekiawan, ulama dan wakil rakyat, ikut tercantum dalam daftar amil zakat. Kita tentu patut bersyukur, karena di tengah kesibukannya, mereka masih mau terlibat mengurus zakat.

Ketiga adalah karena balas jasa menjadi Amil zakat belum menjanjikan. Gaji amil zakat belum cukup untuk dijadikan penopang hidup. Gaji bagi amil zakat lebih banyak terima kasih dan pahala dari Allah SWT, yang memang luar biasa nilainya. Kalaupun ada lembaga yang ingin membalas jasa amil zakatnya cukup memadai, tapi tidak tega karena perolehan zakatnya pun juga tidak seberapa. Mungkin bisa dihitung dengan jari, lembaga zakat yang bisa disebut telah mampu mengatasi persoalan ini.

Keempat adalah karena standar kompetensi untuk menjadi amil zakat juga belum ada. Standar kecakapan dan kode etik yang harus dikuasai oleh seseorang yang hendak menjadi amil zakat juga belum ditentukan. Pada masa yang akan datang kecakapan dan kode etik ini akan menjadi persyaratan apabila seseorang ingin berprofesi amil zakat. Terlebih sampai saat ini, belum ada sekolah khusus terakreditasi yang melahirkan ahli di bidang pengelolaan zakat.

Kelima adalah karena minimnya karya nyata amil zakat di tengah-tengah masyarakat. Amil zakat masih terlalu kecil perannya pada tataran publik. Sehingga bakti mengelola zakat belum memiliki dampak signifikan dalam perubahan masyarakat. Kinerja amil zakat belum dicatat memiliki makna penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan amil zakat belum dianggap sebagai profesi yang menentukan dalam kehidupan umat.

Menjadi tugas kita semua untuk meningkatkan martabat amil zakat sehingga menjadi profesi terhormat. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan karya nyata. Insya Allah !

PEMIMPIN TAKUT DAN PEMALU

Salah satu budaya buruk yang berkembang di tengah-tengah kita saat ini adalah memandang jabatan pemimpin sebagai kenikmatan. Semua orang telah terbiasa membayangkan sisi kepemimpinan sebagai dimensi kesenangan. Setiap kali kita memikirkan kepemimpinan, maka yang muncul adalah fasilitas dan popularitas.

Refleksi ini secara tidak sadar, dapat kita lihat pada berbagai bentuk polah tingkah kita. Sebelum menjadi pemimpin, kita terbiasa untuk membesar-besarkan diri melalui kampanye yang tidak proporsional. Tidak soal bahwa jabatan pemimpin itu pantas atau tidak untuk kita, yang penting kita bisa mendudukinya. Biarpun biaya kampanye mahal, tetap kita lakukan, dengan harapan setelah menjadi pemimpin akan terbayarkan.

Saat kita dipilih menjadi pemimpin, tanpa rasa malu kita mengadakan “pesta kemenangan”. Seolah-olah kita telah mengalahkan seseorang atau sesuatu. Ucapan selamat dan puja-puji mengalir kepada kita. Penuh kebanggaan kita menyambut semua itu.

Ketika mulai melaksanakan tugas, tidak sedikitpun kita merasa bersalah. Dengan entengnya kita menyalahkan para pendahulu sebagai pembuat masalah. Seakan-akan kita menjadi pemimpin bukan di tempat adanya masalah tersebut. Padahal sebelum dilantik menjadi pemimpin, kita telah menyatakan kesediaan untuk menerima jabatan tersebut dengan segala konsekuensinya.

Setelah kita menjadi pemimpin dan tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang ada, kitapun tidak merasa bersalah. Begitu pandai kita menuduh faktor-faktor di luar diri kita sebagai penyebab. Ketika banyak tuntutan datang kepada kita, agar kita berhenti dari sebuah jabatan, kita bersembunyi di balik ketiak orang yang mengangkat kita. Dengan berargumen bahwa jika diberhentikan oleh yang mengangkat, kita siap untuk mundur.

Manakala habis masa jabatan, kita menjadi sedih. Tanpa rasa malu kitapun ikut pemilihan lagi. Mencoba lagi melakukan kampanye. Dengan harapan akan terpilih lagi menjadi pemimpin dengan segala kenikmatannya.

Sungguh, tidak ada sedikitpun rasa takut di hati kita. Tidak secuilpun kita merasa khawatir bahwa kepemimpinan itu akan menjerumuskan kita. Tidak ada kesadaran dalam hati kita bahwa seorang pemimpin adalah pemegang amanah. Manakala amanah itu tidak ditunaikan dengan benar, maka kehinaan yang akan terjadi.

Seorang pemimpin adalah pemegang amanah urusan masyarakat. Ia bukan hanya mengurusi dirinya dan keluarganya, akan tetapi juga mengurusi orang banyak. Jika ada urusan masyarakat yang tidak tertangani dengan baik, ia akan bertanggung jawab.

Apabila masih ada anggota masyarakat yang lapar, ia bertanggung jawab. Apabila masih ada anggota masyarakat yang sakit, ia bertanggung jawab. Apabila masih ada anggota masyarakat yang buta huruf, ia bertanggung jawab. Apabila masih ada anggota masyarakat yang dizalimi, ia juga bertangung jawab. Pendeknya pemimpin adalah penanggung jawab urusan masyarakat dalam bidangnya masing-masing.

Pemimpin adalah orang yang takut, apabila ada urusan masyarakat yang tidak tertunaikan. Pemimpin adalah orang yang takut tergelincir dari amanah yang dipegangnya. Pemimpin adalah orang yang senantiasa takut, kalau-kalau ada anggota masyarakat yang merasa terzalimi dengan kepemimpinannya.

Pemimpin juga adalah orang yang pemalu apabila hendak berbuat salah. Pemimpin adalah orang yang pemalu manakala hendak mempertontonkan keburukan. Pemimpin adalah orang yang pemalu untuk tampil berlebihan. Pemimpin adalah orang yang sangat pemalu, jika pada masa kepemimpinannya ada kegagalan untuk mengatasi masalah.

Masih adakah hari ini pemimpin yang takut dan pemalu?

06 January, 2007

SELAMAT DATANG, PAK HAJI !

Minggu-minggu ini, beberapa bandara utama di Indonesia disibukkan oleh kedatangan jamaah haji kita. Lebih dari 200.000 orang tahun ini jamaah asal Indonesia telah melaksanakan ibadah rukun Islam yang kelima. Sekitar sepersepuluhnya adalah jamaah yang mengulang ibadah haji. Kita bangsa Indonesia tentu bangga, karena meskipun masih merasakan kesulitan ekonomi, tapi jumlah jamaah haji kita masih yang terbesar dibandingkan negara lain. Pemerintah Arab Saudi juga tahun ini masih memberikan penilaian jamaah haji Indonesia tertib dan disiplin dengan semua pengaturan yang ada di sana. Meskipun peristiwa haji tahun ini tercederai dengan kasus keterlambatan katering sehingga membuat ribuan jamaah haji Indonesia kelaparan.

Untuk dapat melaksanakan ibadah haji diperlukan biaya yang tidak sedikit. Ongkos Naik Haji (ONH) yang ditetapkan pemerintah saja mencapai 22 juta rupiah. Belum lagi ditambah biaya ekstra masing-masing jamaah, untuk persiapan, bekal selama perjalanan dan setelah kepulangan. Bahkan mungkin ada beberapa jamaah haji yang biaya ekstranya lebih besar dibandingkan ONH. Contohnya beberapa jamaah yang sangat royal melaksanakan “tasyakuran”, baik sebelum maupun sesudah haji. “Biar lebih afdhol”, katanya.

Ada banyak cara seseorang bisa berangkat melaksanakan ibadah haji. Sebagian dengan rajin menabung, sebagian lagi mendapatkan penghasilan dadakan yang sangat besar. Ada di antaranya yang dibiayai perusahaan atau instansi tempat bekerja. Tidak sedikit yang berangkat karena menang hadiah sayembara, bahkan adapula yang menunaikan ibadah haji karena ditunjuk menjadi pembimbing atau “ofisial” haji. Beberapa saudara kita juga menunaikan ibadah haji dengan menjual tanah atau rumahnya.

Sebab terkumpulnya dana atau kemampuan material untuk berhaji tentu di hadapan Allah SWT tidak ada nilai negatifnya. Yang terpenting bagi seorang jamaah haji adalah niat dan praktek selama berhaji. Ibadah haji seharusnya dilandasi niat ikhlas karena Allah semata, tidak karena yang lain. Pengorbanan seseorang dalam berhaji dengan mengorbankan materi, waktu dan tenaga yang besar, selayaknya tidak dilandasi karena ingin mendapat sebutan Pak Haji dan Bu Haji. Atau karena ingin meningkatkan popularitas dan pujian dari masyarakat. Apalagi kalau berhaji karena malu dan gengsi belum berhaji.. Ini sungguh jauh dari kemuliaan berhaji.

Banyak orang telah menggulirkan wacana berhaji bagi masyarakat Indonesia cukup sekali. Dengan pertimbangan kewajiban melaksanakan ibadah haji hanya sekali seumur hidup. Sementara biaya haji tersebut bisa dimanfaatkan untuk kegiatan peningkatan kualitas dan kesejahteraan umat yang saat ini sangat membutuhkan dana yang besar. Alasan lain adalah karena begitu banyaknya orang yang ingin melaksanakan ibadah haji. Jadi memberi kesempatan yang lebih luas bagi orang yang belum sempat berhaji.

Wacana ini di satu sisi positif, tapi di sisi lain kurang realistis. Karena gagasan tersebut hanya memandang bahwa ibadah haji memiliki dimensi ibadah formal rasional saja dan melupakan sisi ritual dan spiritual. Berhaji tidak sekedar memenuhi perintah Tuhan atau sekedar menggugurkan kewajiban dan menghitung-hitung manfaat sosial. Haji juga mengandung makna ritual dan kaya akan pengalaman spiritual yang seringkali nilainya tidak dapat digantikan oleh kepuasan matematika sosial. Contoh hal ini dituturkan oleh Arief Rachman, pakar pendidikan, yang baru pulang berhaji :

“Tahun ini saya berhaji sudah lima belas kali. Tapi ada pengalaman tahun ini yang tidak saya alami pada haji sebelumnya. Saat saya berwukuf di Arafah bersama jamaah, dalam kekhusyuan berdo’a dan berzikir, tiba-tiba kami melihat awan berlapis-lapis. Subhanallah..! kami memuji kebesaran Allah. Betul, ditunjukkan bahwa langit itu bertingkat-tingkat. Setelah itu awan berubah, dan betapa terkejutnya kami, karena gumpalan awan tersebut berubah membentuk tulisan Allah. Kami tersungkur bersujud. Allahu..Akbar ! Kami begitu terharu…”

Belum lagi jika kita perhatikan adanya sebagian jamaah haji yang meniatkan haji sebagai puncak ibadah pada akhir hidupnya. Mereka ini berangkat haji pada usia yang sudah lanjut. Beberapa di antaranya telah melampaui umur 70 tahun. Sebagian besar simpanan kekayaan yang dimilikinya direlakan untuk membiayai perjalanan hajinya. Orang-orang ini memang sudah mempersiapkan diri jika ajal menjemput saat di Tanah Suci. Bahkan hal itu dianggap sebagai saat kematian terindah yang ingin diraih pada penghujung kehidupannya. Tidak heran, jika orang ini saat berangkat meninggalkan kampung halamannya, dilepas dengan peluk cium laksana memang kepastian kematian di Tanah Suci adalah telah digariskan. Sungguh, ini adalah peristiwa haji yang mengandung muatan emosi spiritual yang mendalam.

Kita tentu sangat kecewa, apabila ada orang yang sering melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi hajinya tidak memiliki dampak dalam perilaku sosial sehari-hari. Haji hampir setiap tahun, tapi korupsi dan kolusi jalan terus. Haji ditunaikan, tapi menjadi rentenir dan pengijon juga dimainkan. Haji telah dilaksanakan, tapi membohongi rakyat dan berlaku culas dalam politik tak pernah dihentikan. Haji sudah sering dilakukan, tapi menindas dan berlaku zalim terhadap kelompok yang lemah juga tidak dilupakan. Atau haji sudah berulang, tapi bergaul bebas, berjudi, minuman keras dan berpakaian minim, juga menjadi penampilan sehari-hari.

Kini, jamaah haji kita juga semakin realistis. Tengok saja kesibukan di kawasan Tanah Abang hari-hari ini. Sebagian area pasar yang dulu dipenuhi lapak-lapak pedagang kaki lima, kini telah disulap menjadi Pasar Seng ala Indonesia. Sebagaimana layaknya di Arab Saudi sana, di sini tersedia aneka oleh-oleh yang biasanya dibawa oleh jamah haji yang baru pulang. Lengkap, tidak kurang sedikitpun. Dari mulai air zam-zam, kurma, kismis, kacang arab, sampai kepada asesoris seperti tasbih, sajadah, perlengkapan minum, mainan, eye shadow, lipstick dan tentu saja rumput fatimah. Harganya juga nyaris tidak berbeda dengan di Tanah Suci.

Ini melegakan kita. Karena dulu para jamaah haji harus rela membawa oleh-oleh yang memberatkan. Tidak sedikit yang selama menunaikan ibadah haji juga direpotkan dengan belanja oleh-oleh ini. Kekhusyuan ibadah juga ikut terganggu. Alasannya tentu, karena ingin membagi kenangan kepada kerabat dan tetangga. Supaya tidak sekedar bertemu dan bersilaturahim saja saat kedatangan. Tapi juga memberikan sedikit tanda mata dan membagi “barokah” haji. Misalnya dengan menyediakan minum air zam-zam. Itu semua kini tetap bisa dilakukan, tanpa perlu repot-repot membawa dari Arab Saudi.

Kedatangan jamaah haji juga menumbuhkan harapan. Karena bagaimanapun, semakin banyak orang berhaji, mudah-mudahan akan semakin banyak insan yang menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik. Pelajaran yang diperoleh jamaah selama haji, semoga menjadi pengantar mereka dalam mewujudkan Indonesia yang lebih adil, sejahtera dan Islami. Minimal, kepulangan haji akan menghentikkan tingkah laku yang kurang baik. Selamat datang, Pak Haji..!

NEGERI YANG TERGADAI

Masih ingat peristiwa ketika ribuan pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja Parpostel sedang berjuang agar Indosat tidak diprivatisasi. Pendahulunya, serikat pekerja dari Semen Gresik juga terus gelisah atas sebab yang sama. Sementara ribuan pekerja BCA sudah lebih dahulu menelan pil pahit divestasi yang memindahkan 51 % kepemilikan negara kepada Konsorsium Farallon Indonesia. Semua orang tahu Konsorsium Farallon Indonesia, 90 % kepemilikannya dipegang oleh Farallon Capital dari Amerika. Kita tahu kemudian Akhirnya Indosat pun jatuh pada kepemilikan Tamasek Singapura.

Satu demi satu, aset-aset milik negara jatuh ke tangan asing. Atas nama pemenuhan target penerimaan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang profitabilitasnya tinggi, terpaksa harus dilego. Malangnya, sebagian besar penjualan aset negara tersebut jauh-jauh hari sudah ditetapkan. Rancangannya disusun sebagai konsekuensi atas pinjaman Indonesia kepada lembaga atau negara donor. Baik langsung maupun tidak langsung, pelepasan aset-aset negara terjadi sebagai bagian dari perjanjian berhutang.

Penjualan usaha-usaha strategis milik negara sesungguhnya adalah penyimpangan yang paling nyata terhadap kebijakan ekonomi para pendahulu negara ini. Dalam UUD 1945 pasal 33 jelas-jelas disebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Tapi, entah mengapa, perancang kebijakan ekonomi kita tidak menggubris pasal penting ini. Padahal sampai hari ini, pasal tersebut masih berlaku.

Privatisasi dan divestasi sejak awal memang muncul sebagai gagasan kapitalisme ekonomi. Negara-negara kapitalis tidak puas dengan kekayaan yang dimiliki di negaranya. Mereka mengincar aset-aset molek di negara berkembang dan miskin. Jurus pertama yang mereka kembangkan adalah menularkan pandangan dan nilai. Lewat pemahaman bahwa monopoli negara adalah buruk, semua negara berkembang atau miskin diteror. Negara-negara berkembang atau miskin dipaksa menerima keyakinan bahwa semua aset negara harus dilepas menjadi milik swasta.

Jurus pertama ini berdampak dengan privatisasi beberapa BUMN pada awal tahun 90-an. Salah satu BUMN yang menjadi korban adalah Telkom. Saat itu, Telkom melepas sebagian sahamnya menjadi kepemilikan swasta. Peristiwa pelepasan saham Telkom ini ditandai dengan listing Telkom di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan New York Stock Exchange (NYSE). Tentu, pada setiap makna kepemilikan swasta, prakteknya terkandung kepemilikan asing (baca : negara kapitalis).

Jurus kedua yang dikembangkan adalah jurus mematikan. Pada saat negara-negara berkembang atau miskin mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan, maka gagasan pemindahan kepemilikan aset kepada asing ini dijadikan sebagai materi perjanjian. Indonesia yang dihempas krisis ekonomi pada tahun 1997 tidak berdaya untuk mengatasi sendiri. Gagasan kurs tetap sebagai upaya untuk menekan depresiasi Rupiah sebagai pemicu krisis ekonomi juga urung dilaksanakan. Ujungnya adalah IMF selaku “Dewa Penolong” bersama negara dan lembaga donor lain memasukkan klausul pemindahan kepemilikan aset negara dalam perjanjian pinjaman Indonesia.

Bagai tanpa reserve, IMF dengan begitu leluasa mencocok hidung kita. Semua resep dan petuah ekonominya dijadikan acuan oleh perancang ekonomi kita. Meskipun di banyak negara IMF telah gagal mengantarkan perbaikan ekonomi. Kasus Argentina adalah contoh paling nyata dari kegagalan “obat mujarab” IMF. Alih-alih mengatasi krisis ekonomi, Argentina malah terpuruk menjadi negara miskin baru di Amerika Latin. Argentina telah menjadi negara yang bangkrut.

Privatisasi kini bahkan telah menjadi kebijakan untuk memperoleh penerimaan negara. Sehingga jika tidak dipenuhi, maka sebagian belanja negara yang sedang dan akan berjalan tidak dapat dibiayai. Ketika kebutuhan untuk mendapatkan sumber penerimaan ini sudah mendesak, jangan heran jika berapapun yang bisa diperoleh masih berguna. Wajar jika kemudian pemerintah begitu ngotot melepas BCA. Meskipun semua orang tahu divestasi BCA itu merugikan negara puluhan trilyun.

Perilaku penjualan murah aset negara, tak ubahnya dengan praktek obral seorang pedagang. Karena Sang Pedagang sudah sangat membutuhkan uang untuk menebus gadai dan ia tidak memiliki sumber pendapatan lain, maka mengobral barang dagangan adalah satu-satunya jalan. Meskipun penjualan obral tersebut sesungguhnya merugikan, dengan terpaksa ia harus lakukan. Jadi, sungguh tidak enak dan menyakitkan memiliki negeri yang tergadai.

PEMBERDAYAAN BANGSA-BANGSA MUSLIM

Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad pada suatu kesempatan pernah berkata :”dunia Islam kini berada pada titik terendah…dapat dikatakan, siapa saja bisa menindas negara Islam yang mana saja, dan tak ada yang dapat dilakukan oleh bangsa-bangsa Islam kecuali menjerit dan memohon keadilan.”

Tokoh yang pernah dikenal dengan sebutan “Dr. M” ini memberi contoh kehebatan bangsa Israel menindas Palestina, “Bahkan sebuah ras yang hanya terdiri dari 13 juta orang di seluruh dunia dapat menaklukkan kekuatan 1,3 milyar umat Islam.” Dengan lugas pula beliau menandaskan, “Tak satu pun negara Islam masuk dalam jajaran negara-negara maju dunia. Dunia Islam sekarang sangat lemah dan terbelakang.”

Apa yang dinyatakan oleh satu-satunya pemimpin Asia yang pernah menolak IMF ketika diguncang krisis tersebut, sungguh sangat tepat. Bagaimanapun kondisi umat Islam di seluruh kawasan bumi saat ini sedang muram. Realitas ini sungguh terbalik dengan kenyataan besarnya populasi bangsa muslim di dunia. Fakta ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya insani bangsa muslim baik secara individual, maupun secara kolektif, sangat rendah.

Pemberdayaan adalah kata kunci yang diresepkan beliau untuk mengubah kondisi bangsa muslim. Untuk dapat merintis sebuah perubahan substansial yang berskala global, pemberdayaan adalah jalan yang dibentangkan. Jalan ini tentu harus dikreasi secara mendalam untuk dapat menjadi obat yang tepat. Pilar-pilarnya harus ditegakkan melalui pemaknaan yang tepat atas semua simpul permasalahan yang tengah dihadapi umat.

Pemberdayaan adalah sebuah proses penguatan terhadap semua potensi yang dimiliki umat sehingga mencapai kemandirian. Setiap diri harus dibangkitkan Etos untuk memberi manfaat bagi masyarakatnya. Setiap orang harus dibangunkan kesadaran untuk lebih menghargai hasil jerih payahnya dibandingkan disuapi orang lain. Setiap individu muslim perlu ditanamkan nilai untuk bangga terlibat dalam perubahan menuju kemajuan umat.

Penguatan etos juga harus dibarengi dengan internalisasi pengetahuan dan keahlian untuk dapat memanfaatkan sumber daya di sekitarnya. Setiap pribadi muslim dibekali keterampilan dalam memberi manfaat bagi sekelilingnya. Setiap orang adalah pribadi unik yang dapat mendayagunakan apa yang ada di dalam dirinya untuk mengolah apa yang ada di luar dirinya menjadi nilai tambah. Kecakapan yang dimiliki setiap muslim akan menyumbangkan nilai-nilai produktifitas bagi masyarakatnya.

Pemberdayaan juga adalah revitalisasi semua aspek kehidupan. Pemberdayaan melingkupi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Semua sisi kehidupan umat harus diberdayakan. Setiap penguatan pada satu aspek akan memberi kontribusi bagi penguatan pada aspek lainnya. Rentangan berbagai aspek kehidupan umat ini, harus dapat diintegrasikan bagi optimalisasi pemberdayaan.

Setiap individu atau kelompok muslim dapat saja memilih satu aspek sebagai prioritas, akan tetapi itu tidak identik dengan tidak menganggap penting aspek lainnya. Dalam tahapan pemberdayaan yang ditempuh setiap individu atau kelompok muslim, mesti ada garis kaitan untuk menjelaskan di mana posisi pemberdayaannya dalam arti menyeluruh. Sebab, jika tidak ada hal itu, maka pemberdayaan hanya akan menjadi jalan yang centang perenang.

Pemberdayaan adalah sebuah jalan yang panjang. Mungkin tidak semua orang akan merasakan ujungnya. Tidak semua orang berkesempatan menjumpai akhir perjalanan tersebut. Bahkan tidak semua orang akan melewati batas-batas keberhasilan. Tapi semua orang yang terlibat dalam pemberdayaan pasti memiliki harapan. Sebuah cita ideal kehidupan bangsa-bangsa muslim yang indah.

Yaitu saat umat Islam disegani dalam kancah pergaulan dunia. Peradabannya menjadi rujukan segala bangsa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya mempengaruhi sendi kehidupan di seluruh dunia. Kekuatan ekonominya berpengaruh di seluruh bumi. Secara politik, semua bangsa tidak lagi melecehkan dan menindasnya. Kebudayaan dunia, juga sangat terwarnai oleh kebudayaan bangsa muslim.

Inilah sebuah zaman yang pernah dijanjikan dalam Al-Qur’an. Yaitu periode ketika bangsa muslim menjadi umat yang terbaik di tengah umat manusia. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, memerintahkan kebajikan dan mencegah kerusakan, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali-imran : 110).

05 January, 2007

MENCERMATI ACEH PASCA PERJANJIAN DAMAI

Kondisi Aceh pasca Tsunami tidak saja menimbulkan penderitaan bagi rakyat Aceh, akan tetapi juga penurunan terhadap kekuataan GAM. Kekuatan GAM setelah terjadinya Tsunami sudah jauh menurun. Entah karena sedang bersimpati atas kondisi Aceh keseluruhan atau karena memang kekuatan mereka sudah semakin sedikit, pasca terjadi Tsunami, aksi-aksi GAM mengalami penurunan drastis. Ada sementara kalangan menduga bahwa kekuatan GAM pasca Tsunami telah menyusut menjadi tinggal separuh dari jumlah kekuatan sebelum Tsunami.
Tapi entah atas pertimbangan atau desakan apa, tiba-tiba saja di tengah rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca Tsunami dilakukan perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM di Helsinki Finlandia. Puncaknya adalah penandatanganan Nota kesepahaman perjanjian Damai antara pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani pada tanggal 15 Agusus 2005. Penandatanganan perjanjian damai ini disambut sukacita dan rasa syukur oleh sebagian rakyat Aceh. Sementara sebagian lagi menyambutnya dengan keraguan dan kekhawatiran.
Tentu saja setiap bentuk upaya perdamaian harus kita sikapi dengan positif. Tapi Itu tidak berarti kita tidak diperkenankan untuk bersikap hati-hati dan waspada. Kehatian-hatian dan kewaspadaan diperlukan untuk senantiasa bertindak tepat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Jika kita mencoba mendalami poin-poin Nota Kesepahaman antara pemerintah RI dan GAM, maka di dalamnya terdapat beberapa persoalan yang rawan dan perlu diwaspadai oleh kita semua. Poin-poin tersebut adalah :
“Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.” (poin 1.1.2)
“Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.” (poin 1.1.6)
“Lembaga Wali Nangroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” (poin 1.1.7)
“Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional…Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan nota kesepahaman ini akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh…” (poin. 1.2.1.)
Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). (poin 1.3.1)
“…Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.” (poin 1.3.2)
“GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca tsunami (BRR)” (poin 1.3.9)
“Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai hak-hak sipil dan politik dan mengenai Hak-hak ekonomi, sosial dan Budaya.” (poin 1.4.2)
“Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.” (poin 3.2.5 (a)
“Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar Nasional.” (poin 3.2.7)
“GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya…”(poin 4.2)
“…GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata.” (poin 4.3)
“Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.” (poin 4.7)
Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.” (poin 5.1)

Dari sebagian poin-poin nota kesepahaman tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan :
GAM yang kekuatannya sudah lemah mendapatkan pengakuan dan penguatan kembali.
Pesonil GAM yang diperkirakan kini hanya memiliki kekuatan maksimal 2000 orang memiliki banyak hak-hak istimewa dalam pemerintahan dan ekonomi dibandingkan jutaan rakyat Aceh lainnya.
Propinsi Aceh akan menjadi wilayah persis sebagaimana negara bagian dalam negara federal
Terjadi perubahan mendasar tentang sistem pemerintahan, undang-undang, sistem politik dan pengelolaan ekonomi.
Menguatnya kekuatan internasional seperti PBB dalam pengelolaan Aceh dengan jargon Hak Asasi Manusia dan hak-hak sipil.

Lalu apa yang harus kita waspadai :
Digusurnya sistem syariah Islam dalam seluruh pengaturan undang-undang dan pemerintahan. Menguatnya kesadaran dan pelaksanaan syariah di Aceh yang sudah ada sekarang jangan sampai terkikis karena masuknya unsur GAM dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Konsolidasi persiapan Referendum Aceh untuk memerdekakan diri. Jangan sampai personil GAM dibantu kekuatan-kekuatan asing memanfaatkan momentum damai ini sebagai tahapan konsolidasi untuk pelaksanaan referendum kemerdekaan Aceh.
Tekanan dan ketidakadilan perlakuan terhadap rakyat Aceh. Para personil GAM begitu diistimewakan dibandingkan Rakyat Aceh lainnya, bahkan terjadi penekanan dan penganiayaan rakyat Aceh oleh personil mantan GAM.

Lalu tugas apa yang harus kita lakukan di Aceh sekarang :
Meningkatkan dakwah Islam, khususnya dalam rangka terus membangkitkan kesadaran dan pelaksanaan Syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Mendukung kekuatan-kekuatan partai politik dan ormas Islam yang memperjuangkan pelaksaan syariat dan perwujudan kehidupan yang lebih Islami.
Melakukan komunikasi dan sosialisasi demi menjaga tidak lepasnya Aceh dari genggaman wilayah RI.
Mencegah masuknya kekuatan kapitalis asing menguasai Aceh melalui pintu perdagangan bebas yang dibuka langsung untuk Aceh.
Mencegah terjadinya kebangkrutan dan ketergantungan Aceh pada negara atau kekuatan asing karena hutang luar negeri yang terus membesar.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh melalui berbagai bentuk kegiatan baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial.
Kita perlu bekerjasama dan bersinergi dalam pelaksanaan tugas di atas. Wallahu A’lam !
Jakarta, 20 Agustus 2005

Ahmad Juwaini
Penanggung Jawab Program Aceh Dompet Dhuafa Republika 2005 - 2006

FORMULASI GAGASAN DAN ASPIRASI ULAMA ACEH

Siapakah Ulama Aceh Itu ?
Begitu banyak masyarakat Aceh yang bertanya-tanya, siapakah ulama Aceh yang dapat dirujuk saat ini ? Lembaga atau institusi mana sekarang ini yang dianggap merepresentasikan ulama yang disegani masyarakat Aceh ? Pertanyaan inipun sesungguhnya menggelayuti benak sebagian orang dari luar Aceh yang kini ikut terlibat dalam berbagai kegiatan di Aceh.

Pertanyaan ini semakin relevan ketika dihadapkan dengan peristiwa bencana besar Tsunami. Dimana masyarakat Aceh telah didera berbagai problema sosial dan psikologis kebencanaan. Kondisi ini semakin memperparah keadaan masyarakat Aceh setelah mengalami masa Daerah Operasi Militer (DOM), Darurat Militer (DM) dan Darurat Sipil (DS). Pasca bencana Tsunami ini masyarakat Aceh memerlukan tokoh panutan untuk bangkit.

Bahkan ketika menyadari bahwa rekonstruksi Aceh hanya dimungkinkan apabila melibatkan aspirasi dan partispasi masyarakat lokal yang seluas-luasnya, maka keperluan untuk segera mendengar arus utama aspirasi masyarakat Aceh, menjadi tak terhindarkan. Masalahnya kemudian adalah : Siapakah atau lembaga apakah yang paling representatif untuk mewakili aspirasi masyarakat Aceh ? Ketika kemudian jawabannya adalah Ulama Aceh, maka pertanyaan lanjutannya adalah : Siapakah atau lembaga manakah yang paling tepat untuk mewakili ulama Aceh ?

Mencari individu tokoh atau lembaga paling pas untuk mewakili ulama Aceh saat ini mungkin lebih menyulitkan. Daripada kita terus berdiskursus untuk siapa dan lembaga apa, yang mungkin tidak mudah menjawabnya, maka yang lebih penting adalah kita menjawab bagaimana dan seperti apa gagasan aspirasi ulama Aceh tentang Aceh sekarang dan masa depan.

Wadah Kepemimpinan Ulama Aceh
Skenario pertama yang mungkin dilakukan adalah menyatukan berbagai lembaga-lembaga yang mewakili ulama Aceh. Setiap lembaga ulama yang ada baik formal dan Informal harus diajak turut serta dan bergabung dalam wadah kepemimpinnan ulama Aceh. Disini dapat diwujudkan sebuah wadah kolektif bersifat strategis kordinatif untuk mewadahi ulama Aceh. Unsur-unsur yang dapat diajak terlibat adalah berbagai institusi ulama Aceh, misalnya adalah MPU, HUDA, Rabitah Thaliban, FORKADA dan lain sebagainya. Bisa saja salah satu lembaga tersebut menjadi payung organisasi sebagai induknya.

Wadah ini sekaligus menjadi representasi dari aspirasi dan gagasan ulama Aceh. Keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh wadah kolektif ulama Aceh ini harus menjadi panduan dalam kehidupan masyarakat Aceh, khususnya dalam memandu pelaksanaan ajaran Islam. Keberadaan ulama yang bergabung dalam wadah kepemimpinan ulama ini harus mengakar sampai ke satuan organisasi masyarakat terendah di tingkat desa.
Setiap jaringan atau lembaga ulama Aceh terhubung dengan satuan organisasi komunitas terendah di Aceh yaitu Meunasah dan Dayah. Meunasah dan Dayah Harus dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat Aceh. Sementara tempat dan fasilitas umum lainnya dijadikan sebagai sarana pendukung. Melalui Meunasah dan Dayah setiap ulama Aceh memiliki jalur komunikasi dan interaksi dengan masyarakat Aceh sampai ke tingkat desa.

Melalu wadah kepemimpinan ulama ini, maka siapapun dapat mengetahui aspirasi dan gagasan ulama Aceh. Apapun yang disuarakan oleh wadah kepemimpinan ulama ini, maka telah merepresentasikan aspirasi ulama Aceh yang lebih otentik. Tinggal masalahnya bersediakah atau mungkinkah ulama Aceh mewujudkannya ?

Formulasi Gagasan dan Aspirasi Ulama Aceh
Skenario kedua yang mungkin dilakukan adalah membuat sebuah forum pertemuan, dimana sebanyak mungkin ulama dan organisasi ulama Aceh diundang untuk membicarakan mengenai gagasan rekonstruksi masyarakat Aceh pasca Tsunami. Forum ini harus betul-betul mengundang unsur ulama Aceh secara keseluruhan.

Di dalam foum tersebut dibicarakan berbagai masalah seputar : masalah-masalah utama Aceh saat ini dan masa depan, potensi-potensi (sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi) yang dimiliki oleh Aceh, tujuan dan arah rekonstruksi Aceh, peran masing-masing organisasi (ulama, pemerintah dan masyarakat) serta model-model monitoring dan evaluasi untuk mengukur perkembangan masyarakat Aceh. Tentu saja semua masalah yang dibahas haruslah yang relevan dengan fungsi dan peran ulama yang harus dimainkannya.

Akan lebih baik kalau inisiator dari forum pertemuan ini adalah organisasi ulama Aceh itu sendiri. Sementara pihak-pihak dari luar Aceh menjadi fasilitator dan pendukung dari berlangsungnya pertemuan tersebut. Sehingga semua hal yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut serta orientasi keberhasilan pertemuan berpangkal kepada keperluan dan keinginan ulama Aceh itu sendiri.

Setelah dicapai kesepakatan hasil-hasil pertemuan, maka selayaknya apabila semua peserta mewakili lembaganya masing-masing menandatangani hasil kesepakatan pertemuan tersebut. Untuk selanjutnya hasil kesepakatan tersebut dijadikan sebagai platform bersama gagasan dan aspirasi ulama Aceh dalam melakukan rekonstruksi Aceh. Hasil kesepakatan itu juga harus disosialisasikan kepada berbagai pihak sehingga dapat diketahui dan dijadikan rujukan.

Terpulang kembali kepada ulama Aceh akhirnya, apakah masalah ini akan dijadikan sebagai jalan untuk berlomba-lomba dalam kebajikan atau akan dibiarkan sebagai masalah bersama tanpa ada solusi dan perbaikan, karena semua orang tidak merasa terlibat dan tidak merasa perlu. Wallahu A’lam !

*) Ahmad Juwaini adalah Kordinator Program Pemulihan Aceh Dompet Dhuafa Republika Makalah ini disampaikan dalam sarasehan membangun kembali Aceh Pasca Tsunami oleh ormas-ormas Islam, April 2005

STRATEGI PENGGALANGAN DAN PENDAYAGUNAAN DANA FILANTROPI MELALUI LSM DAN ORGANISASI SOSIAL

PENDAHULUAN
Filantropi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan rangkaian dua buah kata yaitu philein yang artinya “cinta” dan anthropos yang artinya “manusia”. Atau berarti seseorang yang mencintai sesama (manusia). Bentuk kecintaan ini umumnya diwujudkan oleh manusia kaya yang membantu manusia lain yang miskin atau yang kekurangan. Tercakup dalam pengertian filantropi adalah semua kegiatan kedermawanan masyarakat seperti kegiatan menyumbang atau memberikan bantuan baik dilakukan oleh individu maupun oleh organisasi dan perusahaan.
Ada beberapa motivasi atau alasan masyarakat melakukan kegiatan filantropi, beberapa di antaranya adalah :
Alasan Keagamaan, yaitu motivasi melakukan kegiatan kedermawanan atau kepedulian karena kesadaran bahwa perbuatan seperti itu diperintahkan atau dianjurkan oleh ajaran agamanya masing-masing.
Alasan Kemanusiaan, yaitu motivasi melakukan kegiatan kedermawanan atau kepedulian karena kesadaran bahwa setiap manusia harus hidup serasi dan harmonis dengan manusia lainnya. Oleh karena itu, jika ada manusia mengalami kesulitan, maka manusia lainnya harus membantu.
Alasan Ketaatan Aturan, yaitu motivasi melakukan kegiatan kedermawanan atau kepedulian karena adanya suatu aturan atau regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Misalnya apabila ada aturan bagi perusahaan atau individu dengan penghasilan atau kekayaan tertentu harus mengeluarkan dana sosial tertentu.
Alasan Komersial, yaitu motivasi melakukan kegiatan kedermawanan atau kepedulian karena alasan-alasan bisnis. Misalnya bahwa untuk terus menciptakan masyarakat yang memiliki daya beli (sebagai pasar), maka perusahaan harus membagikan sebagian keuntungannya kepada masyarakat. Atau juga misalnya bahwa kegiatan kepedulian yang dilakukan oleh perusahaan akan menjadi sarana promosi perusahaan yang efektif kepada masyarakat.
Alasan Kompensasi Pajak, yaitu motivasi melakukan kegiatan kedermawanan atau kepedulian karena alasan bahwa sumbangan sosial yang dilakukan oleh perusahaan atau individu akan mengurangi pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan atau individu tersebut.

Dengan berbagai alasan tersebut di atas, maka kegiatan filantropi akan terus hidup di masyarakat. Dari waktu ke waktu kegiatan filantropi akan terus meningkat, karena semakin lama bentuk kesadaran filantropi juga akan semakin meluas. Terlebih lagi pada saat situasi dan kondisi masyarakat dilanda bencana besar, seperti bencana Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, maka segenap komponen masyarakat akan terpanggil untuk melakukan berbagai kegiatan filantropi.
Pada saat terjadi bencana, maka setiap orang akan dihadapkan dengan realitas tentang kesulitan yang dialami oleh para korban bencana berbanding dengan keadaan masing-masing orang saat itu. Sehingga kondisi ini akan mendorong terbentuknya rasa kepedulian untuk membantu para korban yang jauh lebih menderita dibandingkan dengan dirinya. Fenomena ini melahirkan bangkitnya filantropi secara massal di tengah masyarakat.

Peran LSM atau Organisasi Sosial pada Kegiatan Filantropi
Secara sederhana dapat kita kelompokkan jenis peran yang dilakukan oleh LSM atau organisasi sosial pada kegiatan filantropi, yaitu :
Penggalang Dana, yaitu LSM atau organisasi sosial yang berperan membangkitkan kesadaran filantropi dan menggalang dana dari masyarakat. Untuk selanjutnya pemanfaatan dari dana filantropi ini akan dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pihak lain, baik itu LSM lain, pemerintah maupun individu. Dalam hal ini pihak yang diajak kerjasama harus mengajukan sebuah usulan kegiatan, untuk selanjutnya usulan tersebut akan dinilai dan akhirnya akan didanai oleh LSM penggalang dana filantropi.
Pemanfaat Dana, yaitu LSM atau organisasi sosial yang berperan lebih banyak untuk memanfaatkan dana filantropi yang sudah dikumpulkan atau dimiliki oleh institusi lain. LSM pemanfaat dana ini lebih concern kepada masyarakat penerima dana filantropi tersebut. LSM jenis ini memiliki kompetensi dalam bidang desain dan implementasi program untuk membantu kesulitan masyarakat yang membutuhkan.
Penggalang dan Pemanfaat Dana, yaitu LSM atau organisasi sosial yang melakukan dua peran sekaligus, yaitu peran menggalang dana dan peran memanfaatkan dana. Di satu sisi LSM ini melakukan penyadaran filantropik kepada publik, khususnya kepada orang kaya atau perusahaan, kemudian menghimpun dana dari mereka, tetapi juga pada saat yang sama LSM ini melakukan kegiatan-kegiatan pemanfaatan dana filantropi yang sudah dihimpunnya untuk dapat membantu kesulitan yang dialami masyarakat yang kekurangan atau yang sedang tertimba bencana.
Dalam konteks transformasi nilai-nilai filantropi, maka LSM atau Organisasi sosial memiliki peran strategis yaitu berperan membangkitkan dan menyebarluaskan kesadaran filantropi kepada masyarakat. Dengan segala perhatian masing-masing LSM atau organisasi sosial yang dituangkan dalam Visi dan Misinya, maka secara langsung dan tidak langsung terjadi proses transfer nilai-nilai filantropi kepada publik, khususnya kepada publik yang berinteraksi dengan LSM atau organisasi sosial itu secara langsung.
Pada sisi lain, LSM juga berperan memformulasikan kesadaran filantropi tersebut dalam bentuk implementasi operasional kelembagaan filantropi. Selain LSM menjadi media perantara, LSM juga sekaligus perwujudan dari pelaksanaan filantropi tersebut. Jadi bukan hanya sekedar penghubung, LSM juga menjadi bagian yang harus menunjukkan pelaksanaan filantropi dalam kehidupan.


Strategi Penggalangan Dana Filantropi
Untuk dapat menghimpun dana filantropi dari masyarakat, maka LSM atau organisasi sosial melakukan beberapa strategi seperti :
Kampanye Media, yaitu strategi yang dilakukan oleh LSM dalam rangka membangkitkan kepedulian masyarakat melalui berbagai bentuk publisitas pada media massa. Kampanye ini diarahkan kepada dua orientasi, yaitu yang pertama terbentuknya citra kondisi masyarakat yang kesulitan seperti contohnya penderitaan para korban bencana. Dan yang kedua adalah sosialisasi bahwa LSM tersebut melakukan penghimpunan dana untuk membantu masyarakat yang kesulitan tersebut. Beberapa teknik yang dilakukan antara lain adalah :
Membuat Berita
Teknik ini dilakukan dengan cara membuat Press Release, undangan peliputan kegiatan, penyediaan kolom khusus informasi kegiatan, forum dialog atau diskusi dengan wartawan dan kunjungan ke media massa.
Memasang Iklan
Teknik ini dilakukan dengan cara memasang berbagai iklan di media massa, baik iklan yang berisi gambaran tentang kondisi masyarakat yang kesulitan, untuk membangkitkan kesadaran publik maupun iklan yang berisi informasi bahwa LSM tersebut melakukan penghimpunan dana dan membantu masyarakat yang sedang mengalami kesulitan. Iklan yang dipilih bisa berbentuk advertorial atau display.

Direct Fundraising, yaitu strategi yang dilakukan oleh LSM dengan cara berinteraksi langsung dengan masyarakat, khususnya yang berpotensi menyumbangkan dananya. Strategi Direct Fundraising ini dilakukan dengan tujuan bisa mewujudkan donasi masyarakat seketika atau langsung setelah terjadinya proses interaksi tersebut. Teknik yang dilakukan antara lain :
Direct Mail, yaitu teknik penggalangan dana yang dilakukan dengan cara mengirimkan surat kepada masyarakat calon donatur. Surat tersebut isinya adalah gambaran kondisi masyarakat yang akan dibantu atau program yang akan dilakukan, informasi tentang lembaga dan mekanisme yang bisa dilakukan masyarakat kalau hendak mendonasikan dananya. Misalnya penyebutan nomor rekening dan form kesediaan donasi yang harus diisi.
Telefundraising, yaitu teknik penggalangan dana yang dilakukan dengan cara melakukan kontak telepon kepada masyarakat calon donatur. Telepon ini umumnya dilakukan sebagai follow up dari surat yang telah dilakukan atau pertemuan yang pernah dilakukan.
Pertemuan Langsung, yaitu teknik penggalangan dana yang dilakukan dengan cara melakukan kontak secara langsung dengan masyarakat calon donatur. Selain berdialog langsung, maka pertemuan ini juga biasanya digunakan untuk membagikan brosur, leaflet atau barang cetakan lain guna mendukung keberhasilan penggalangan dana. Tidak sedikit pula pertemuan ini digunakan untuk menghimpun donasi secara langsung.

Kerjasama Program, yaitu strategi yang dilakukan oleh LSM dengan cara bekerjasama dengan organisasi atau perusahaan pemilik dana. Dalam hal ini LSM mengajukan proposal kegiatan kepada sebuah organisasi atau perusahaan. Proposal tersebut dipresentasikan di hadapan personil yang mewakili organisasi atau perusahaan. Dalam proposal tersebut harus termuat manfaat proposal bagi masyarakat yang dibantu, bagi organisasi atau perusahaan yang akan membiayai program dan bagi LSM tersebut. Dalam proposal tersebut digambarkan sekilas hak dan kewajiban masing-masing pihak. Mekanisme bentuk donasi yang bisa dilakukan oleh organisasi atau perusahaan seperti bantuan langsung dari dana sosial yang sudah dianggarkan, penyisihan laba perusahaan atau dari potongan setiap transaksi belanja konsumen perusahan.
Fundraising Event, yaitu strategi yang dilakukan oleh LSM dengan cara menyelenggarakan sebuah event untuk pengumpulan dana. Misalnya adalah malam amal, lelang lukisan, lelang busana tokoh terkenal, lelang karya tokoh, konser musik amal atau bentuk event lain yang digunakan untuk penggalangan dana.



Strategi Pendayagunaan Dana filantropi
Bila kita melihat bentuk pendayagunaan dana filantropi, maka kita bisa mengelompokkan dalam pengelompokan seperti berikut ini :

1. Bantuan dan Karitas (Relief & Charity)
a. Distribusi Sembako
b. Layanan Kesehatan
c. Penyediaan Tempat Tinggal Sementara
d. Pembagian pakaian
2. Pendidikan (Education)
a. Penyediaan Sekolah
b. Beasiswa
c. Pelatihan Guru
d. Kursus Keterampilan
3. Pengembangan Ekonomi (Economic Development)
a. Pelatihan Wirausaha
b. Bantuan Modal Usaha
c. Asistensi Manajemen Usaha
d. Pendirian Lembaga Keuangan Mikro
4. Lingkungan (Environment)
a. Penyadaran lingkungan
b. Penghijauan kembali
c. Penyelamatan Fauna
d. Pembentukan ekosistem
5. Hukum (Law)
a. Revisi UU
b. Advokasi UU
c. Gerakan anti korupsi
d. Perlindungan Perempuan

Pengelompokan di atas hanyalah contoh sederhana dari ragam kegiatan pendayagunaan yang dilakukan oleh LSM. Masih ada beberapa kegiatan yang belum tecantum secara khusus dalam pengelompokan diatas, Misalnya adalah kegiatan pengembangan kesenian dan kebudayaan atau penyadaran teknologi informasi.
Dalam prakteknya dari banyak LSM di Indonesia, maka pelaksanaan pendayagunaan dana filantropi umumnya lebih banyak terkonsentrasi pada bentuk kegiatan Bantuan & Karitas, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi. Sementara bentuk kegiatan Lingkungan dan Hukum masih sangat terbatas. Hal ini juga terjadi bahwa umumnya donatur baik individu, organisasi atau perusahaan cenderung lebih memilih bentuk kegiatan tersebut, karena lebih terkesan menolong dan membantu dibandingkan kegiatan lingkungan dan hukum.
Strategi pendayagunaan pada dasarnya harus mengarahkan masyarakat penerima program atau masyarakat yang sedang mengalami kesulitan pada kepentingan yang sifatnya lebih jangka panjang, misalnya pendidikan, ekonomi, lingkungan dan hukum. Sehingga program apapun yang dibuat harus memiliki dimensi untuk mendukung kepentingan yang lebih strategis. Meskipun pada saat kondisi darurat bentuk kegiatan Bantuan dan Karitas tetap diperlukan. Misalnya pada tahap emergency saat bencana terjadi, maka pada tahap ini segala bantuan dan karitas sangat dibutuhkan para korban bencana.


Tanggung Jawab Pengelola Dana Filantropi
Karena dana filantropi adalah dana publik, maka setiap pengelola dana filantropi harus bertindak :
Terbuka dan Transparan, artinya bahwa semua LSM yang menggunakan dana filantropi harus siap untuk membuka dirinya sehingga diketahui oleh publik tentang pelaksanaan kegiatan dan penggunaan dananya. LSM yang menggunakan dana filantropi harus bersedia apabila masyarakat donatur ingin mengetahui kegiatan dan penggunaan dana filantropi yang berasal dari sumbangan masyarakat donatur. Bahkan jika diperlukan siap untuk diaudit oleh auditor independen.
Melaporkan Kegiatan dan Keuangan, artinya meskipun tidak diminta oleh donatur, setiap LSM yang menggunakan dana publik harus melaporkan kegiatan dan keuangannya kepada masyarakat donatur. Hal ini merupakan bentuk pertanggung jawaban LSM kepada donaturnya. Laporan itu bisa dalam bentuk surat atau pemuatan informasi kegiatan dan keuangan pada media massa. Karena adanya keharusan untuk melaporkan ini, maka setiap LSM juga harus memiliki dokumentasi transaksi (sistem akuntansi) yang baik
Mencari Kemanfaatan yang lebih luas, artinya bahwa setiap LSM dituntut untuk semakin kreatif dan selektif dalam memanfaatkan dana, sehingga bisa memaksimalkan manfaat yang bisa diperolah masyarakat, khususnya masyarakat penerima program langsung.



*****************************************************************************************************) Ahmad Juwaini adalah Direktur Sumber Daya BAZNAS - Dompet Dhuafa, salah satu penulis pada buku filantropi : “Berderma dan Berbagi” terbitan Teraju – Mizan 2004 dan Sekjen Asosiasi Lembaga Pengelola Zakat Indonesia (Forum Zakat Nasional – FOZNAS) periode 2003 - 2006