15 April, 2008

BERGURU INFAK PADA ANAK

Sekitar Dua tahun yang lalu, saat anak saya yang pertama (Ziyan, saat itu usianya 7 Tahun) dihimbau oleh guru-gurunya di sekolah untuk mengeluarkan infak untuk membantu saudara-saudara kita kaum muslimin di Palestina yang sedang mengalami penindasan dari bangsa penjajah Israel, ia meminta kepada istri saya agar setiap hari dikasih uang Rp 10.000,- untuk berinfak. Padahal uang jajan yang biasa dikasihkan oleh istri saya kepada Ziyan hanyalah Rp 3.500,- per hari. Saya yang mendengar permintaan itu sebenarnya sempat kaget juga, karena ternyata anak saya mau berinfak yang lebih besar dari uang jajannya. Tapi karena saya pikir bahwa perbuatan anak saya tersebut adalah bentuk kebaikan, maka saya menyetujuinya. Dan ternyata Infak sebesar Rp 10.000,- tiap hari ini dilakukannya hampir selama satu bulan penuh. Saya pikir luar biasa perilaku anak saya tersebut.

Sekitar dua minggu yang lalu, masjid Sekolah Alam (Masjid tempat sekolah anak saya yang paling kecil (Annisa, 5 tahun) terbakar karena konsleting listrik. Seluruh atapnya yang terbuat dari daun rumbia habis terbakar. Saat Nisa datang ke sekolahnya dia mlihat langsung kondisi masjid yang terbakar tersebut. Setelah itu gurunya memberikan penjelasan. Entah apa yang dijelaskan oleh gurunya. Yang jelas sepulang dari sekolah, Nisa bilang sama istri saya : "Umi, nisa mau nyumbang untuk masjid Sekolah Alam." mendengar pernyataan Nisa, istri saya menjawab : "Ya, itu bagus sekali..."
Beberapa hari kemudian, nisa minta ke istri saya untuk dibukakan celengannya. Setelah dibuka celengannya, semua uang yang ada di celengan itu dihitung. Ternyata jumlah tabungan Nisa seluruhnya adalah Rp 65.000,- Uang sejumlah itu merupakan tabungan Nisa selama hampir dua tahun. Perlu diketahui, uang jajan Nisa sehari adalah Rp 1.000,-. Dari uang Rp 65.000,- tersebut, ternyata Nisa minta Rp 55.000,- disumbangkan untuk Masjid Sekolah alam, sementara yang Rp 1.000,- disisakan sebagai tabungannya di dalam celengan.

Oleh Nisa, semua perilakunya tersebut diceritakan kepada kakak-kakaknya. Mendengar cerita dari Nisa, Spontan Ziyan (9 tahun) berkata : "saya akan menyumbang Rp 50.000,- untuk masjid Sekolah Alam dari tabungan saya". Sementara Raihani (7 Tahun) berkata : "saya akan menyumbang Rp 100.000,- dari tabungan saya."

Mendengar dialog dan menyaksikan perilaku anak-anak saya, saya terkesiap dan merasa takjub. Sungguh luar biasa kesadaran berinfak anak-anak saya. Entah Ajaran seperti apa yang telah ditanamkan oleh guru-gurunya kepada anak-anak saya. Kenapa saya berpikir demikian, Karena rasanya saya dan istri saya mengajari infak kepada anak-anak saya biasa-biasa saja. Kejadian ini juga menjadi pelajaran buat saya.

Ya Allah, Jadikan anak-anak saya, menjadi manusia yang gemar berinfak fi sabilillaah...Amiin

04 April, 2008

AIR MATA TERIMA KASIH

Bila kaum dhuafa terhimpit beban hidup, tak berdaya melawan kerasnya dunia, maka meneteskan air mata adalah solusinya. Bila orang miskin didera oleh getirnya tuntutan untuk memenuhi keperluan hidup, sementara tak ada lagi sumber daya untuk mengatasinya, maka melelehkan air mata adalah terapinya. Sehingga kadang-kadang telah kering air mata kaum dhuafa untuk mengobati derita yang mereka rasakan. Air mata bagi kalangan masyarakat dhuafa adalah identik dengan nestapa dan kesengsaraan.

Tapi akan lain apabila air mata yang dijatuhkan oleh kaum dhuafa adalah air mata kegembiraan atau air mata bahagia. Kau dhuafa juga akan meneteskan air mata apabila merasakan kesyukuran dan kebahagiaan. Air mata yang mereka gulirkan adalah ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan kepada kita yang pernah membantunya. Pengalaman ini kita temukan pada masyarakat korban bencana banjir di Sliwung Situbondo.

Sebanyak 38 kepala keluarga yang rumahnya terhempas banjir bandang Situbondo sebulan yang lalu, pada hari Rabu 26 Maret 2008 melakukan peresmian untuk memulai kehidupan di rumah baru. Mereka semua kini akan tinggal di dalam rumah yang dibangunkan dari dana donatur Dompet Dhuafa Republika. Lokasi pembangunan rumah mereka telah dipilihkan pada lokasi yang aman dari terjangan banjir, karena berada pada ketinggian yang cukup terlindung dari kemungkinan sapuan banjir.

Setelah acara peresmian selesai, maka tibalah waktunya bagi relawan Dompet Dhuafa Republika untuk pamit ke Jakarta. Tapi entah bagaimana, tanpa dikomando satu persatu warga korban banjir menyalami para relawan. Tidak hanya orang dewasa dan para remaja, tetapi juga anak-anak dan orang-orang berusia lanjut. Mereka semua secara spontan memeluk para relawan sambil menumpahkan air mata. Ucapan terima kasih diungkapkan dengan tulusnya. Bahkan do’a-doa kebaikan dan limpahan ganjaran pahala bagi kebaikan relawan dan donatur juga mengalir begitu derasnya.

Beberapa anak kecil memeluk pinggang relawan sambil berucap : “Kak, kapan datang lagi ke kampung ini ?” atau disertai ucapan : “Kak, kapan akan bermain dan bercerita bersama kami lagi ?” Seorang Bapak tua bahkan dengan penuh haru menciumi pipi seorang relawan sambil bibirnya berucap : “Terima kasih, Dik, atas segala kebaikannya, kami gak bisa membalas kebaikannya.”. Kelopak mata dari Bapak tua itu basah digenangi air mata. Menyaksikan pemandangan seperti itu, sontak, mata relawan juga berkaca-kaca menahan haru.

Tapi rupanya, rasa terima kasih mereka belum selesai. Saat para relawan itu mulai beranjak meninggalkan kampung Sliwung, secara spontan mereka berinisiatif mengarak para relawan. Dengan menggunakan sebuah mobil pick up terbuka yang dipenuhi ibu-ibu dan anak-anak, disertai belasan sepeda motor yang sudah ditempeli dengan sticker Dompet Dhuafa Republika, lagi-lagi dengan insiatif mereka sendiri, mereka mengiringi rombongan relawan. Arak-arakan itu melintasi jalan desa sepanjang tidak kurang dari 5 kilometer sampai ke ujung jalan raya di kota Situbondo. Arak-arakan itu laksana pawai kampanye sebuah partai politik pada masa kampanye yang mengundang perhatian warga yang ada di sepanjang jalan yang dilalui.

Sungguh, jika kita menyaksikan drama kemanusiaan seperti ini, hati siapa yang tidak akan terguncang ? Meskipun mereka hanya dibantu dengan penyediaan rumah semi permanen yang dibiayai dari sumbangan donatur yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, tapi nilainya di hadapan mereka sangat tinggi. Mereka begitu jujur ketika mengungkapan rasa terima kasihnya dengan segala tingkah dan ekspresi naturalitas panca indra serta tubuh mereka. Pada saat banyak manusia tidak pandai mengungkapkan rasa terima kasih meskipun telah banyak dibantu orang lain, maka perilaku mereka seolah menjadi penegur bagi kita semua. Semoga cucuran air mata dan doa kebaikan yang dialirkan mereka, pahalanya akan sampai juga kepada anda semua, para donatur sekalian. Amiin.