24 January, 2010

The Pain of Poor

Sofyan was young, he was barely 23 years old. He should be let out her last breath after the struggle against diebetes mellitus. Illness during the last two years is only minimally treated. Not do not want to Sofyan and his family was treated with a vengeance, but the high cost of treatment, making Sofyan families must count carefully and save. When he was not very severe, diabetes mellitus Sofyan suffered enough mixture is treated with drugs that made their own. Even on his deathbed were, Sofyan only handled by a midwife at home.

Sofyan just a young high school graduates. Works odd jobs, just to cope with the burden that is not idle. Sofyan said the eldest of three brothers. Sofyan's father had died several years ago. While his mother just selling food in front of the house to patch the purposes of everyday life. Every time should be and in-patient treatment in hospital, his mother was forced to borrow money to cover costs. If the longer Sofyan hospitalized, the more loans that must be borne Sofyan family. For families Sofyan, pain is going to deeper poverty.

Sofyan's family story is the description of many families in Indonesia. Many families living just above the poverty line could fall into the abyss of poverty, when there are family members who fell seriously ill. Expensive medical costs, both for the doctor's examination, drug costs, and hospital services to anyone who is poor category will fall into a deeper hole in the valley of poverty. Slogan for free medical treatment costs, especially for poor families, is still limited to ornaments in political campaigns, especially as a speech and local governments.

Until now, this is not enough strong evidence that every poor person will actually be served free of all forms of service (check doctors, medicine, surgery, hospitalization, services, and medical purposes) in government hospitals. There is only excuse for not providing a complete free service to the poor. And we all know that when poor people are asked to pay medical expenses for illness, then they certainly will not be able to.

During the provision of health insurance problems of the poor have not been resolved, do not expect the poverty rate would drop close to zero. Treatment costs to be borne by many families and the poor would almost be an important factor in poverty perch in the two-digit level. With the persistence of poverty rates above 10%, then we still have to watch people suffer poverty as a result of treatment burden problem.

We may have seen someone who was floundering in pain because of lack of blood becomes more ill, because the transfused blood will not be able to price it paid. We had probably never heard of having a cancer in his head, fell on the floor because sharply rejected by hospital officials, just because it does not have enough money as a guarantee of treatment. The pain suffered by poor families getting hurt, while knowing that they can not afford the cost of treating illness.

Sakitnya Miskin


Sofyan masih muda, usianya baru menginjak 23 tahun. Ia harus mengembuskan napasnya yang terakhir setelah berjuang melawan diebetes mellitus. Penyakit yang diderita selama dua tahun terakhir ini hanya diobati sekadarnya. Bukan tak ingin Sofyan dan keluarganya berobat dengan sepenuh hati, tapi mahalnya biaya pengobatan, membuat keluarga Sofyan harus berhitung cermat dan menghemat. Kalau tidak sedang sangat parah, penyakit diabetes mellitus yang diderita Sofyan cukup diobati dengan ramuan obat-obatan yang dibuat sendiri. Bahkan menjelang ajalnya pun, Sofyan cuma ditangani oleh seorang bidan dekat rumah.

Sofyan hanya seorang pemuda lulusan SMA. Kerjanya serabutan, sekadar mengatasi beban agar tidak menganggur. Sofyan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayah Sofyan telah meninggal dunia beberapa tahun silam. Sementara ibunya hanya berjualan makanan di depan rumah untuk menambal keperluan hidup sehari-hari. Setiap kali harus berobat dan di rawat di rumah sakit, ibunya terpaksa harus meminjam uang untuk menutup biayanya. Jika semakin lama Sofyan dirawat di rumah sakit, maka semakin banyak pinjaman yang harus ditanggung keluarga Sofyan. Bagi keluarga Sofyan, sakit adalah pelesakan kemiskinan yang semakin dalam.

Kisah keluarga Sofyan merupakan gambaran banyak keluarga di Indonesia. Kelurga-keluarga yang hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan bisa jatuh ke dalam jurang kemiskinan, manakala ada anggota keluarganya yang jatuh sakit secara serius. Biaya pengobatan yang mahal, baik untuk pemeriksaan dokter, biaya obat, dan pelayanan rumah sakit membuat siapa saja yang termasuk kategori miskin akan terpuruk dalam lubang yang lebih dalam di lembah kemiskinan. Slogan biaya berobat gratis terutama bagi keluarga miskin, masih sebatas hiasan dalam kampanye politik, terutama sebagai pidato pemerintah pusat dan daerah.

Sampai saat ini belum cukup bukti yang kuat bahwa setiap orang miskin akan betul-betul dilayani secara gratis dalam segala bentuk pelayanan (periksa dokter, obat, operasi, rawat inap, pelayanan, dan keperluan medis) di rumah sakit pemerintah. Ada saja alasan yang dibuat untuk tidak memberikan pelayanan gratis secara paripurna kepada orang miskin. Padahal kita semua mengetahui bahwa manakala orang miskin diminta membayar biaya pengobatan atas sakitnya, maka mereka jelas tidak akan mampu.

Selama persoalan penyediaan jaminan kesehatan masyarakat miskin belum terselesaikan, jangan berharap angka kemiskinan akan anjlok mendekati titik nol. Beban biaya berobat yang harus ditanggung oleh banyak keluarga miskin dan kelompok nyaris miskin akan menjadi faktor penting bertenggernya angka kemiskinan di level dua digit. Dengan bertahannya angka kemiskinan di atas 10%, maka kita masih harus menyaksikan derita kemiskinan masyarakat sebagai akibat persoalan beban pengobatan.

Kita mungkin pernah menyaksikan seseorang yang sedang menggelepar menahan sakit karena kekurangan darah menjadi bertambah sakit, karena darah yang akan ditransfusikan harganya tidak mampu ia bayar. Kita pun mungkin pernah mendengar ada seorang yang mengalami tumor di kepala, terjerembab di lantai karena ditolak dengan ketus oleh petugas rumah sakit, hanya karena tidak memiliki uang cukup sebagai jaminan pengobatan. Rasa sakit yang diderita keluarga miskin semakin terasa sakit, ketika mengetahui bahwa mereka tidak mampu membayar biaya mengobati sakitnya.[]

07 January, 2010

Tembus 100 Milyar

Di tengah diskursus tentang rencana pemerintah untuk menghapus (sebagian) LAZ, keluarga besar Dompet Dhuafa (DD) sedang terlarut dalam rasa syukur yang sangat dalam. Betapa tidak, menjelang 1 Muharram 1431 sebagai penanda tahun baru Islam ini, DD dihujani beberapa anugerah. Dari mulai Penghargaan Social Entrepreneur Award untuk Pendiri DD, Bapak Erie Sudewo oleh Ernst & Young, Penerimaan Sertifikat Manajemen Mutu ISO 9001 : 2008, Pencatatan Rekor MURI atas pengelolaan hewan kurban terbesar di Indonesia, Pemenang Marketing Award 2009 dari Majalah Marketing dan puncaknya ditutup dengan prestasi penghimpunan melampui 100 Milyar yang diraih oleh DD selama setahun (1 Muharram – 30 Dzulhijah 1430 H).

Raihan dana masyarakat 100 Milyar (tepatnya Rp 101.897.272.466) yang berhasil digalang DD adalah sebuah catatan baru dalam sejarah perkembangan zakat di Indonesia. Ini adalah sebuah prestasi bahwa sebuah organisasi pengelola zakat yang dibentuk dengan sederhana pada awalnya, telah mampu dipercaya masyarakat untuk mengemban amanah pengelolaan dana 100 Milyar. Ini sekaligus membuktikan bahwa sesungguhnya masyarakat Indonesia, apabila telah mengetahui kinerja suatu lembaga, maka masyarakat tidak akan segan-segan untuk mengalirkan dananya untuk diberdayakan dalam rangka mengangkat harkat hidup kaum mustahik.

Bagi kami di DD, angka 100 Milyar adalah tangga aman ketiga dalam lapis perkembangan pertumbuhan organisasi pengelola zakat atau organisasi penggalang dana masyarakat yang tumbuh dari Zero. Tangga aman pertama adalah apabila organisasi penggalang dana masyarakat mampu menghimpun dana 1 Milyar pertahun. Dimana dengan 1 Milyar dana setahun , maka operasional lembaga akan berjalan dan akan tumbuh kegiatan lembaga dalam membantu kehidupan masyarakat miskin. Tangga aman kedua adalah pencapaian 10 Milyar, yaitu tangga dimana organisasi penggalang dana masyarakat akan mulai mampu menghidupi pengelolanya. Dengan perolehan 10 Milyar pertahun, maka para pengelola organisasi pemberdayaan masyarakat akan mampu bertahan untuk terus berada di dalam organisasi tersebut, sehinga tidak mudah menjadikan personilnya keluar-masuk.

Adapun Angka pencapaian 100 Milyar adalah tangga untuk mengukur peran dan kontribusi organisasi nirlaba dalam mempengaruhi masyarakat. Dengan dana 100 Milyar, organisasi kepedulian akan memiliki kesempatan untuk berperan nyata dalam rangka mewarnai perubahan masyarakat. Tangga ketiga adalah pengukur potensi yang dimiliki oleh setiap organisasi pengelola dana masyarkat untuk berkiprah dalam rangka membantu menggerakkan bangsa guna memperbaiki kehidupan masyarakat yang tak berdaya.

Pendiri DD, Bapak Erie Sudewo, 10 tahun yang lalu pernah menyampaikan, bahwa apabila pada waktu itu DD diberi amanah dana 100 Milyar, mungkin DD akan termehek-mehek karena tidak sanggup mengelolanya. Akan tetapi dengan bertambahnya waktu dan terus berkembangnya pengalaman DD, mudah-mudahan kini DD akan lebih siap untuk dapat memanfaatkan dana tersebut dengan sebaik-baiknya. Bukan untuk sekedar dibanggakan, tetapi untuk berbakti melalui perjuangan penuh kesungguhan dan penuh kreasi untuk dapat melayani dan membantu mustahik terentas dari kemiskinannya. Tentu itu semua tidak akan berhasil tanpa dukungan dan koreksi dari semua pihak, terutama masyarakat donatur.