Amil zakat adalah profesi yang semestinya selalu ada dalam kehidupan umat Islam. Keharusan adanya ditentukan oleh Allah Rabbul Alamin melalui wahyu-Nya dalam Al-Qur’an. Amil zakat betugas menjadi mediator bagi sirkulasi zakat dari muzakki kepada mustahik. Jika tiada amil zakat, maka robohlah tiang penyangga pengelolaan dana Zakat. Amil zakat selayaknya hadir sebagai salah satu profesi mulia, sebagaimana posisi Nabi, Ulama atau Ulil Amri (pemerintah).
Tapi cobalah kita bertanya kepada anak-anak berusia di bawah sepuluh tahun, “Apakah cita-cita mereka ?” Jawabannya, Insya Allah tidak ada yang menjawab “Amil Zakat”. Karena sampai saat ini, amil zakat belum tercantum dalam literatur profesi di Indonesia. amil zakat belum dikenal sebagai profesi standar sebagaimana dokter, insinyur atau akuntan. Sampai kinipun belum ada ikatan profesi amil zakat. Kalaupun sekarang ini ada amil zakat, citranya sangat marjinal dan jauh dari profesional.
Mengapa Amil zakat belum dikenal sebagai profesi yang mulia ? Ada beberapa faktor penyebabnya, yaitu Pertama, mayoritas pengelolaan zakat masih dilakukan sebagai kepanitiaan. Khususnya pada akhir bulan Ramadhan, banyak masjid, pesantren dan organisasi Islam mempraktekkannya. Selesai Idul Fitri, maka berakhir pulalah “status” amil zakat ini. Jadi profesi amil zakat hanya muncul sekejap.
Kedua adalah karena banyak amil zakat hanya menjadi profesi sambilan. Sambil mengerjakan pekerjaan utama sebagai pegawai sebuah kantor, ikut membantu mengelola zakat. Sambil menjadi pejabat, turut serta mengelola zakat. Bahkan tidak sedikit juga yang melakukan sambil menjadi pengusaha, cendekiawan, ulama dan wakil rakyat, ikut tercantum dalam daftar amil zakat. Kita tentu patut bersyukur, karena di tengah kesibukannya, mereka masih mau terlibat mengurus zakat.
Ketiga adalah karena balas jasa menjadi Amil zakat belum menjanjikan. Gaji amil zakat belum cukup untuk dijadikan penopang hidup. Gaji bagi amil zakat lebih banyak terima kasih dan pahala dari Allah SWT, yang memang luar biasa nilainya. Kalaupun ada lembaga yang ingin membalas jasa amil zakatnya cukup memadai, tapi tidak tega karena perolehan zakatnya pun juga tidak seberapa. Mungkin bisa dihitung dengan jari, lembaga zakat yang bisa disebut telah mampu mengatasi persoalan ini.
Keempat adalah karena standar kompetensi untuk menjadi amil zakat juga belum ada. Standar kecakapan dan kode etik yang harus dikuasai oleh seseorang yang hendak menjadi amil zakat juga belum ditentukan. Pada masa yang akan datang kecakapan dan kode etik ini akan menjadi persyaratan apabila seseorang ingin berprofesi amil zakat. Terlebih sampai saat ini, belum ada sekolah khusus terakreditasi yang melahirkan ahli di bidang pengelolaan zakat.
Kelima adalah karena minimnya karya nyata amil zakat di tengah-tengah masyarakat. Amil zakat masih terlalu kecil perannya pada tataran publik. Sehingga bakti mengelola zakat belum memiliki dampak signifikan dalam perubahan masyarakat. Kinerja amil zakat belum dicatat memiliki makna penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan amil zakat belum dianggap sebagai profesi yang menentukan dalam kehidupan umat.
Menjadi tugas kita semua untuk meningkatkan martabat amil zakat sehingga menjadi profesi terhormat. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan karya nyata. Insya Allah !
No comments:
Post a Comment