06 January, 2007

NEGERI YANG TERGADAI

Masih ingat peristiwa ketika ribuan pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja Parpostel sedang berjuang agar Indosat tidak diprivatisasi. Pendahulunya, serikat pekerja dari Semen Gresik juga terus gelisah atas sebab yang sama. Sementara ribuan pekerja BCA sudah lebih dahulu menelan pil pahit divestasi yang memindahkan 51 % kepemilikan negara kepada Konsorsium Farallon Indonesia. Semua orang tahu Konsorsium Farallon Indonesia, 90 % kepemilikannya dipegang oleh Farallon Capital dari Amerika. Kita tahu kemudian Akhirnya Indosat pun jatuh pada kepemilikan Tamasek Singapura.

Satu demi satu, aset-aset milik negara jatuh ke tangan asing. Atas nama pemenuhan target penerimaan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang profitabilitasnya tinggi, terpaksa harus dilego. Malangnya, sebagian besar penjualan aset negara tersebut jauh-jauh hari sudah ditetapkan. Rancangannya disusun sebagai konsekuensi atas pinjaman Indonesia kepada lembaga atau negara donor. Baik langsung maupun tidak langsung, pelepasan aset-aset negara terjadi sebagai bagian dari perjanjian berhutang.

Penjualan usaha-usaha strategis milik negara sesungguhnya adalah penyimpangan yang paling nyata terhadap kebijakan ekonomi para pendahulu negara ini. Dalam UUD 1945 pasal 33 jelas-jelas disebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Tapi, entah mengapa, perancang kebijakan ekonomi kita tidak menggubris pasal penting ini. Padahal sampai hari ini, pasal tersebut masih berlaku.

Privatisasi dan divestasi sejak awal memang muncul sebagai gagasan kapitalisme ekonomi. Negara-negara kapitalis tidak puas dengan kekayaan yang dimiliki di negaranya. Mereka mengincar aset-aset molek di negara berkembang dan miskin. Jurus pertama yang mereka kembangkan adalah menularkan pandangan dan nilai. Lewat pemahaman bahwa monopoli negara adalah buruk, semua negara berkembang atau miskin diteror. Negara-negara berkembang atau miskin dipaksa menerima keyakinan bahwa semua aset negara harus dilepas menjadi milik swasta.

Jurus pertama ini berdampak dengan privatisasi beberapa BUMN pada awal tahun 90-an. Salah satu BUMN yang menjadi korban adalah Telkom. Saat itu, Telkom melepas sebagian sahamnya menjadi kepemilikan swasta. Peristiwa pelepasan saham Telkom ini ditandai dengan listing Telkom di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan New York Stock Exchange (NYSE). Tentu, pada setiap makna kepemilikan swasta, prakteknya terkandung kepemilikan asing (baca : negara kapitalis).

Jurus kedua yang dikembangkan adalah jurus mematikan. Pada saat negara-negara berkembang atau miskin mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan, maka gagasan pemindahan kepemilikan aset kepada asing ini dijadikan sebagai materi perjanjian. Indonesia yang dihempas krisis ekonomi pada tahun 1997 tidak berdaya untuk mengatasi sendiri. Gagasan kurs tetap sebagai upaya untuk menekan depresiasi Rupiah sebagai pemicu krisis ekonomi juga urung dilaksanakan. Ujungnya adalah IMF selaku “Dewa Penolong” bersama negara dan lembaga donor lain memasukkan klausul pemindahan kepemilikan aset negara dalam perjanjian pinjaman Indonesia.

Bagai tanpa reserve, IMF dengan begitu leluasa mencocok hidung kita. Semua resep dan petuah ekonominya dijadikan acuan oleh perancang ekonomi kita. Meskipun di banyak negara IMF telah gagal mengantarkan perbaikan ekonomi. Kasus Argentina adalah contoh paling nyata dari kegagalan “obat mujarab” IMF. Alih-alih mengatasi krisis ekonomi, Argentina malah terpuruk menjadi negara miskin baru di Amerika Latin. Argentina telah menjadi negara yang bangkrut.

Privatisasi kini bahkan telah menjadi kebijakan untuk memperoleh penerimaan negara. Sehingga jika tidak dipenuhi, maka sebagian belanja negara yang sedang dan akan berjalan tidak dapat dibiayai. Ketika kebutuhan untuk mendapatkan sumber penerimaan ini sudah mendesak, jangan heran jika berapapun yang bisa diperoleh masih berguna. Wajar jika kemudian pemerintah begitu ngotot melepas BCA. Meskipun semua orang tahu divestasi BCA itu merugikan negara puluhan trilyun.

Perilaku penjualan murah aset negara, tak ubahnya dengan praktek obral seorang pedagang. Karena Sang Pedagang sudah sangat membutuhkan uang untuk menebus gadai dan ia tidak memiliki sumber pendapatan lain, maka mengobral barang dagangan adalah satu-satunya jalan. Meskipun penjualan obral tersebut sesungguhnya merugikan, dengan terpaksa ia harus lakukan. Jadi, sungguh tidak enak dan menyakitkan memiliki negeri yang tergadai.

No comments: