Pengelolaan
wakaf di Indonesia telah berkembang dengan sangat cepat. Pengaturan tentang
wakaf di Indonesia telah dimuat pada Undang-Undang No. 41 Tahun 2004. Tentu
saja, isi dari undang-Undang (UU) Wakaf tersebut telah merujuk kepada
hukum-hukum fikih yang telah ditetapkan oleh para ulama, khususnya kepada empat
Imam Mazhab (Hambali, Maliki, Hanafi dan Syafi’i).
Meskipun
isi dari UU Wakaf tersebut telah merujuk kepada pendapat hukum dari para ulama,
namun bukan suatu yang terlarang, apabila kita memikirkan ulang beberapa hal
yang di atur di dalamnya.
Salah
satu topik yang sudah waktunya untuk kita timbang kembali kedudukannya adalah
tentang Nazhir Perseorangan. Apa yang dimaksud dengan Nazhir ? Berikut ini
penjelasan tentang Nazhir sebagaimana tersebut di dalam UU No. 41 Tahun 2004;
Pasal
1 ayat (4) berbunyi : Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf
dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Pada
Pasal 9 disebutkan tentang jenis-jenis Nazhir. Ada yang berupa perseorangan,
organisasi, dan badan hukum.
Tentang
persyaratan Nazhir perseorangan dijelaskan pada Pasal 10 ayat (1) :
Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi
Nazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai warga negara Indonesia (WNI),
beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum.
Adapun
mengenai tugas dan tanggung jawab Nazhir dijelaskan pada Pasal 11, yang
berbunyi : Nazhir mempunyai tugas:
a.
Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.
b.
Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya.
c.
Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
d.
Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Kalau
kita memperhatikan tentang tugas dan tanggungjawab Nazhir wakaf tersebut di
atas, maka diperlukan suatu pengelolaan sebagai nazhir yang sungguh-sungguh.
Nazhir memerlukan kompetensi sekaligus komitmen mengelola wakaf. Nazhir
dituntut untuk melakukan berbagai daya upaya untuk memanfaatkan atau
memproduktifkan aset wakaf yang diamanahkan kepadanya.
Dengan
mempertimbangkan beratnya tanggung jawab mengelola wakaf, dan dengan
mempertimbangkan perkembangan manajemen pada zaman sekarang ini, sudah
selayaknya, apabila Nazhir tidak lagi berbentuk (dikelola) sebagai
perseorangan. Meskipun keberadaan Nazhir perseorangan itu sah secara hukum
syariah (fikih), akan tetapi pemerintah bersama para ulama saat ini dimungkinkan
untuk merekomendasikan agar amanah wakaf tidak dititipkan kepada Nazhir
perseorangan. Nazhir untuk saat ini sebaiknya tidak berbentuk perseorangan,
akan tetapi berbentuk lembaga atau organisasi.
Alasan
Berikut
ini adalah beberapa alasan, mengapa Nazhir perseorangan saat ini sebaiknya
tidak diamanahi wakaf oleh masyarakat. Pertama, hambatan dalam menjaga
kelangsungan wakaf. Nazhir perseorangan artinya mengamanahkan pengelolaan wakaf
pada masa hidup seseorang, sementara mengelola wakaf bisa dalam jangka panjang.
Akan
menjadi masalah apabila Nazhir perorangan, karena apabila si Nazhir itu sudah
tua renta, yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk melihat, mengingat,
berpikir dan beraktivitas secara fisik, maka akan menghambat pekerjaannya
sebagai Nazhir.
Apalagi
kalau si nazhir itu meninggal, akan menimbulkan masalah alih kelola wakaf
secara mendadak. Kalau kemudian kenazhirannya diwariskan kepada anaknya
misalnya, anaknya belum tentu memiliki kelayakan sebagai Nazhir. Jadi,
menyerahkan amanah wakaf saat ini ke perorangan berpotensi menimbulkan masalah
dalam jangka panjang.
Kedua,
lemahnya proses check and balance. Apabila Nazhir adalah perseorangan, maka
tidak terjadi proses check and balance dalam proses kenazhirannya. Sebaik
apapun manusia, berpotensi untuk menyimpang. Setiap manusia tidak luput dari
godaan syetan yang bisa mendorongnya untuk melakukan penyelewengan.
Ketika
seorang Nazhir dititipi amanah wakaf untuk dikelola, dan kemudian pada suatu
titik dia tergelincir akibat godaan hawa nafsunya, maka pada kondisi ini tidak
ada seorang pun yang akan mengingatkannya, karena dia satu-satunya orang yang
secara langsung mengetahui amanah dan peruntukan dari harta wakaf tersebut.
Dalam posisi Nazhir perorangan, tidak terjadi proses saling mengingatkan dan
mengawasi di antara individu sebagai Nazhir.
Ketiga,
keterbatasan sumber daya manusia. Dalam manajemen modern, kita diajari bahwa,
kerjasama dua orang atau lebih manusia untuk suatu tujuan, berpotensi untuk
mencapai hasil yang lebih baik. Kerjasama dua orang atau lebih untuk mencapai
tujuan ini disebut sebagai organisasi. Proses dan dinamika kumpulan orang di
dalam organisasi ini disebut sebagai manajemen.
Apabila
Nazhir hanya terdiri satu orang, tidak terjadi proses manajemen, dan tentu saja
hasilnya diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan pengelolaan pada sebuah
organisasi. Pengelolaan wakaf hari ini yang menuntut kemampuan manajemen aset
wakaf dan manajemen investasi wakaf, semakin meniscayakan kehadiran kumpulan
orang dalam organisasi. Pada masa sekarang ini, dalam pengelolaan wakaf, yang
diperlukan bukan super man, akan tetapi yang diperlukan adalah super team.
Keempat,
sulitnya pendataan wakaf. Salah satu masalah wakaf di Indonesia adalah lemahnya
pendataan wakaf. Selain Kantor Urusan Agama (KUA) dan kementerian agama, faktor
kunci untuk terwujudnya pendataan wakaf yang baik adalah Nazhir yang baik.
Karena
Nazhir adalah pihak yang paling mengetahui keadaan dari aset wakaf yang
dikelolanya, apakah masih terbengkalai (idle), belum berkembang, atau sudah
berkembang produktif dan menghasilkan surplus beberapa kali lipat. Dengan
nazhir perseorangan, maka semakin sulit untuk melakukan pendataan aset wakaf,
karena pada umumnya, nazhir wakaf lemah dalam mencatat aset dan perkembangan
wakafnya.
Itulah
beberapa kelemahan Nazhir wakaf perseorangan. Dengan memahami beberapa
kelemahan nazhir perseorangan, sudah selayaknya apabila nanti dilakukan revisi
Undang-undang Wakaf, atau apabila pemerintah mengeluarkan regulasi terkait
pengelolaan wakaf, agar meninjau ulang keberadaan Nazhir wakaf
perseorangan. Wallahu a’lam.