Kehadiran UU pengelolaan zakat, kemudian diikuti dengan munculnya perda zakat di berbagai daerah. Sampai saat ini telah tiga daerah propinsi dan 20 Kabupaten/Kota yang telah memiliki perda zakat. Kehadiran UU pengelolaan zakat juga telah menyuburkan berdirinya organisasi zakat formal yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai institusi pemerintah yang telah berdiri di 31 Propinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota serta 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai institusi bentukan masyarakat pada tingkat nasional yang telah dikukuhkan oleh Menteri Agama. Belum terhitung LAZ tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota yang sudah dikukuhkan Gubernur dan Bupati atau Walikota.
Dinamika aktivitas organisasi pengelola zakat juga telah berdampak pada perubahan perilaku berzakat masyarakat Indonesia. Jika pada tahun 1997 masyarakat yang membayarkan zakatnya melalui institusi formal kurang dari 3 %, maka pada akhir tahun 2006 cakupannya sudah hampir mencapai 20 %. Hal ini juga ditunjukkan oleh akumulasi penghimpunan dana yang diperoleh organisasi zakat formal. Jika pada tahun 1997 akumulasi total yang dihimpun organisasi zakat formal hanya mencapai 150 Milyar, maka pada akhir tahun 2006 sudah mencapai 800 Milyar.
Akumulasi penghimpunan dana yang telah dihasilkan oleh organisasi zakat formal,masih sangat jauh dari potensi zakat yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yaitu sebesar 19,3 Trilyun per tahun. Angka inipun masih dapat dieskalasi sampai mencapai 90 Trilyun, apabila zakat telah dikelola dengan sangat baik dan diikuti dengan donasi Infak/Sedekah atau Wakaf yang tergalang dengan optimal.
Tanda-tanda positif dari geliat zakat di Indonesia juga menunjukkan tentang mulai signifikannya urusan zakat dalam tata kelola negara kita. Berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada tahun 2001 melalui SK Presiden No. 8 tahun 2001 dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada awal tahun 2007 ini, semakin menguatkan posisi zakat dalam lingkar pengelolaan negara. Dengan semakin luasnya lingkup persoalan zakat dan semakin besarnya pengaruh zakat, maka sudah seharusnya apabila kini zakat lebih dalam lagi ditempatkan dalam tata kelola negara Indonesia.
Kebutuhan untuk perlunya segera dibentuk Kementerian Zakat dan Wakaf menjadi semakin mendesak. Tentu saja pada tahap awal kementerian ini hanya berupa kementerian negara yang tidak membawahi departemen. Kementerian ini akan memerankan fungsi regulator dan pengawas, sekaligus penentu kebijakan pengelolaan zakat di Indonesia. Orientasi dari kementerian ini adalah mengarahkan agar zakat dapat dimaksimalkan dalam membantu pengentasan kemiskinan, pencapaian organisasi zakat yang profesional dan akuntabel, serta integrasi dan sinergi seluruh organisasi zakat di bawah satu payung kebijakan nasional.
Pola penanganan zakat juga harus mulai diubah, jika sebelumnya hanya didekati dalam platform hukum-hukum agama, maka ke depan harus didekati juga dalam instrumen pengelolaan keuangan dan kebijakan ekonomi. Sebagai sebuah kewajiban masyarakat, maka zakat adalah instrumen fiskal, akan tetapi dalam lingkup pemanfaatan dan pendayagunaan, maka zakat adalah instrumen moneter dan instrumen sosial. Sehingga tidak salah jika penataan dan pengelolaan zakat juga dikaitkan dengan kebijakan makro ekonomi suatu negara.
Kalau sekarang ini tulang punggung pendapatan dalam negeri kita adalah pajak, maka pada suatu ketika zakat juga akan mampu mendanai pembangunan dalam proporsi yang semakin berimbang dengan pajak. Bukankah pada masa lalu di Indonesia jumlah pendapatan pajak juga sangat kecil ? Apalagi kalau kita menengok sejarah Islam pada masa Rasul saw dan Khulafaur Rasyidin, maka kita mendapati bahwa porsi zakat dalam mendanai pembangunan cukup besar. Semoga dengan kehadiran Menteri Zakat, harapan agar peran zakat sangat signifikan dalam membantu mengatasi kemiskinan segera terwujud.