25 March, 2007

MENTERI ZAKAT


Kita patut bersyukur, karena selama satu dasa warsa terakhir, perkembangan zakat di Indonesia tumbuh begitu pesat. Sejak berdirinya Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat seluruh Indonesia (Forum Zakat) pada tahun 1997 sampai pada tahun ini banyak catatan menggembirakan terjadi dalam ranah zakat Indonesia. Pada tahun 1999 disahkan Undang Undang Pengelolaan Zakat, yaitu UU No. 38 Tahun 1999. Meskipun masih ditemukan adanya kelemahan dalam UU tersebut, tetapi keberadaannya telah meniupkan kegairahan pengelolaan zakat di Indonesia.

Kehadiran UU pengelolaan zakat, kemudian diikuti dengan munculnya perda zakat di berbagai daerah. Sampai saat ini telah tiga daerah propinsi dan 20 Kabupaten/Kota yang telah memiliki perda zakat. Kehadiran UU pengelolaan zakat juga telah menyuburkan berdirinya organisasi zakat formal yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai institusi pemerintah yang telah berdiri di 31 Propinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota serta 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai institusi bentukan masyarakat pada tingkat nasional yang telah dikukuhkan oleh Menteri Agama. Belum terhitung LAZ tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota yang sudah dikukuhkan Gubernur dan Bupati atau Walikota.

Dinamika aktivitas organisasi pengelola zakat juga telah berdampak pada perubahan perilaku berzakat masyarakat Indonesia. Jika pada tahun 1997 masyarakat yang membayarkan zakatnya melalui institusi formal kurang dari 3 %, maka pada akhir tahun 2006 cakupannya sudah hampir mencapai 20 %. Hal ini juga ditunjukkan oleh akumulasi penghimpunan dana yang diperoleh organisasi zakat formal. Jika pada tahun 1997 akumulasi total yang dihimpun organisasi zakat formal hanya mencapai 150 Milyar, maka pada akhir tahun 2006 sudah mencapai 800 Milyar.

Akumulasi penghimpunan dana yang telah dihasilkan oleh organisasi zakat formal,masih sangat jauh dari potensi zakat yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yaitu sebesar 19,3 Trilyun per tahun. Angka inipun masih dapat dieskalasi sampai mencapai 90 Trilyun, apabila zakat telah dikelola dengan sangat baik dan diikuti dengan donasi Infak/Sedekah atau Wakaf yang tergalang dengan optimal.

Tanda-tanda positif dari geliat zakat di Indonesia juga menunjukkan tentang mulai signifikannya urusan zakat dalam tata kelola negara kita. Berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada tahun 2001 melalui SK Presiden No. 8 tahun 2001 dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada awal tahun 2007 ini, semakin menguatkan posisi zakat dalam lingkar pengelolaan negara. Dengan semakin luasnya lingkup persoalan zakat dan semakin besarnya pengaruh zakat, maka sudah seharusnya apabila kini zakat lebih dalam lagi ditempatkan dalam tata kelola negara Indonesia.

Kebutuhan untuk perlunya segera dibentuk Kementerian Zakat dan Wakaf menjadi semakin mendesak. Tentu saja pada tahap awal kementerian ini hanya berupa kementerian negara yang tidak membawahi departemen. Kementerian ini akan memerankan fungsi regulator dan pengawas, sekaligus penentu kebijakan pengelolaan zakat di Indonesia. Orientasi dari kementerian ini adalah mengarahkan agar zakat dapat dimaksimalkan dalam membantu pengentasan kemiskinan, pencapaian organisasi zakat yang profesional dan akuntabel, serta integrasi dan sinergi seluruh organisasi zakat di bawah satu payung kebijakan nasional.

Pola penanganan zakat juga harus mulai diubah, jika sebelumnya hanya didekati dalam platform hukum-hukum agama, maka ke depan harus didekati juga dalam instrumen pengelolaan keuangan dan kebijakan ekonomi. Sebagai sebuah kewajiban masyarakat, maka zakat adalah instrumen fiskal, akan tetapi dalam lingkup pemanfaatan dan pendayagunaan, maka zakat adalah instrumen moneter dan instrumen sosial. Sehingga tidak salah jika penataan dan pengelolaan zakat juga dikaitkan dengan kebijakan makro ekonomi suatu negara.

Kalau sekarang ini tulang punggung pendapatan dalam negeri kita adalah pajak, maka pada suatu ketika zakat juga akan mampu mendanai pembangunan dalam proporsi yang semakin berimbang dengan pajak. Bukankah pada masa lalu di Indonesia jumlah pendapatan pajak juga sangat kecil ? Apalagi kalau kita menengok sejarah Islam pada masa Rasul saw dan Khulafaur Rasyidin, maka kita mendapati bahwa porsi zakat dalam mendanai pembangunan cukup besar. Semoga dengan kehadiran Menteri Zakat, harapan agar peran zakat sangat signifikan dalam membantu mengatasi kemiskinan segera terwujud.

02 March, 2007

RELAWAN JOGJA

Satu hari berselang sejak terjadinya gempa yang melanda Yogya dan Jateng, Agus (bukan nama sebenarnya) bergegas meluncur dari Jakarta ke Yogya untuk memenuhi panggilan tugas. Sudah beberapa tahun ini ia menjadi relawan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sesampainya di Yogya ia bertindak cepat melayani para korban gempa, dengan membagikan makanan dan layanan kesehatan. Tidak lupa juga mendirikan tenda dan membagikan logistik lain yang sangat diperlukan para korban gempa.

Lepas dari penanganan tahap darurat, Agus bersama rekan-rekannya yang lain, mulai memikirkan program lanjutan. Muncullah gagasan untuk membangun rumah tahan gempa. Rancangan rumah tersebut didesain melibatkan arsitek dan ahli teknik sipil. Rumah tahan gempa tersebut disiapkan dengan ukuran 36 meter persegi di atas lahan milik warga sendiri. Seluruh biaya bahan diperkirakan menghabiskan dana 25 juta rupiah. Tenaga kerjanya menggunakan warga dan relawan yang terlibat. Setelah perencanaan selesai, pelaksanaan pembangunan rumah pun dimulai. Relawan dan warga membangun rumah dengan antusias. Penuh kerja keras mereka mendirikan rumah di kawasan reruntuhan gempa yang telah dibersihkan. Dari mulai pagi Sampai pukul sepuluh malam, pembangunan rumah dilakukan. Dari mulai fondasi bangunan sampai bagian atap terus dikerjakan. Seperti tidak kenal lelah, warga dan para relawan ingin segera menyelesaikan pembangunan rumah tersebut.

Setelah tiga minggu, pembangunan beberapa unit rumah telah selesai. Tibalah saat peresmian rumah tersebut. Wajah-wajah para pemilik rumah yang baru dibangun tersebut dihiasi kebahagiaan. Wajah sedih pada saat baru terjadi gempa, kini telah bertukar menjadi ulasan senyuman. Beberapa relawan, termasuk Agus juga dengan puas memandangi rumah yang telah dibangun tersebut. Tampak bahwa rumah tersebut, meskipun berukuran tidak besar, tetapi memancarkan kebersihan dan kebaruannya. Dua hari setelah peresmian rumah tersebut, Agus menyempatkan diri untuk kembali ke Jakarta. Niatnya ingin mengambil barang untuk keperluan program selanjutnya, sekalian evaluasi di kantor LSM-nya. Tidak terasa sudah hampir satu bulan ia meninggalkan Jakarta. Sesampainya di rumah dan beristirahat sejenak, istrinya bercerita : “Mas, tadi siang ada Pak Rifa’i pemilik rumah kontrakan kita, menanyakan tentang kelanjutan kontrak rumah kita. Karena katanya, satu minggu lagi kontrak rumah kita tahun ini sudah habis. Beliau bilang kalau mau diperpanjang, selambatnya lima hari lagi uang kontrakan harus dibayar.” Mendengar tuturan dari istrinya, Agus menjawab : “Ya Nanti, kita usahakan untuk dibayar.”Selesai berdialog dengan istrinya, Agus berpikir dan segera menyadari kembali ternyata ia adalah seorang “kontraktor” yang harus segera membayar uang kontrakan rumah. Seketika itu juga, melintaslah bayangan rumah-rumah di Yogya yang dibangunnya bersama relawan lainnya. Rumah-rumah itu telah menjadi milik warga yang menjadi korban gempa. Selanjutnya, Agus pun sadar bahwa uang yang dia miliki saat ini tidak cukup untuk membayar uang kontrakannya di Jakarta. Agus berpikir keras darimana ia harus menutupi kekurangan pembayaran kontrakan rumahnya. Sambil terus berpikir untuk mencari jalan keluar, selepas sholat ia berdo’a : “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kami, mudahkan urusan kami dan datangkanlah rezeki dari-Mu sehingga kami dapat membayar kekurangan uang kontrakan kami. Amin...!”

BALADA PEMULUNG MALAM

Pada tayangan televisi beberapa hari yang lalu, kita disuguhi kesibukan ribuan orang yang mengikuti tes menjadi Pagawai Negeri Sipil (PNS). Sebegitu hebatnya makna menjadi PNS, sampai ada peserta yang mengikuti tes sambil membawa bayinya yang masih disusui ke tempat tes. Ibu tersebut bolak-balik keluar masuk ruangan tes untuk sesekali menyusui anaknya di luar.

Seorang Ibu lainnya melaksanakan tes di ruang bersalin. Ibu tersebut tidak ingin ketinggalan mengikuti tes, meski bayi di kandungan sudah mulai berkontraksi hendak membrojol. Bagi mereka, tes PNS itu teramat penting, sehingga bagaimanapun kondisinya, tes PNS harus ikut.

Melihat begitu bernilainya arti menjadi PNS bagi sebagian orang, saya menjadi teringat kepada kenyataan berikut :

Malam baru saja berdentang pukul satu. Sebagian besar insan sedang terlelap dalam peraduan. Seorang anak belasan tahun tampak sedang berkemas. Dengkur gulita Bandung justru saat bangkit bagi anak tersebut untuk memulai tugas. Dengan karung plastik lusuh yang terpanggul ia mulai menapaki kegelapan. Langkah kakinya terus diayun menembus dingin yang menusuk-nusuk kulit.

Setelah melambaikan tangan dan tersenyum kepada Satpam di gerbang Perumahan Sumber Sari, mulailah ia menyisir satu demi satu tempat sampah di perumahan itu. Bau yang menyengat hidung saat tutup tempat sampah dibuka, baginya sudah tidak terasa lagi. Dikorek-koreknya remah-remah rumah tangga. Dicarinya beberapa benda seperti kertas, plastik, botol, logam, kaca dan benda apa saja yang menurutnya masih bernilai.

Tidak sedikit perjalanannya terganggu, karena anjing menyalak atau mengejarnya. Atau tatapan penuh curiga dari orang yang kebetulan melintas. Sesekali ia pun harus bersaing dengan pemulung lain yang beroperasi di tempat yang sama. Alasan menghindari persaingan juga yang menjadi sebab ia memilih menjadi Pemulung Malam.

Saat fajar merekah, ketika kumandang azan Subuh mengalun, ia menyempatkan diri mengaso sejenak. Diambilnya air wudlu dan ditunaikannya sholat di masjid terdekat. Selesai sholat, ia melanjutkan lagi pekerjaannya. Sampai menjelang pukul 8 pagi, barulah ia menuntaskan perburuan sampahnya.

Sampai di rumah, ia tidak bisa langsung beristirahat. Karena ia masih harus memilah-milah sampah tersebut. Dikelompokkannya sampah tersebut berdasarkan jenisnya. Usai disortir tersebut, dengan harapan yang bergelora ia mengantarkan sampah tersebut kepada pengumpul yang menampung hasil pekerjaannya. Dengan sampah yang dipanggul sekarung tersebut, ia dibayar 15 sampai 20 ribu Rupiah. Cukuplah itu untuk menyambung hidupnya hari itu.

Asep, demikian nama anak tersebut, hanya sekolah sampai kelas 4 SD. Ibunya sudah lama meninggal dunia. Sementara Bapaknya kawin lagi. Ia bersama enam saudaranya harus berjuang mati-matian menjaga kehidupan. Apapun cara akan dilakukan untuk memelihara nafas terus mengaliri rongga dada. Sudah beberapa tahun ini ia menjadi pemulung.

Meski dari memulungnya sehari hanya mendapatkan 15 ribu perak, yang bagi sebagian orang hanya cukup untuk segelas kopi, Asep selalu mensyukuri. Baginya yang penting adalah bisa menikmati. Asep memang pernah bermimpi untuk hidup lebih baik. Tapi dengan keterbatasan dan bekal pendidikan yang tidak tamat SD, ia tidak bisa berharap banyak.

Dalam renungnya, Asep menyadari ia tidak mungkin untuk ikut antri seperti orang lain yang berdesakan menjelang pendaftaran menjadi calon pegawai negeri. Status PNS yang bagi sebagian orang bagaikan permata di tengah penggaguran yang meruyak, bagi Asep hanyalah impian kosong. Baginya jauh lebih penting berbuat sehingga tidak menjadi beban orang lain, daripada terus menunggu lamaran bekerja diterima. Meskipun, pada awal memulai profesi pemulung, dadanya bergemuruh hebat, karena harus menghancurkan semua gengsi dan keriangan masa remajanya.

Kadang menjelang tidur, Asep masih sempat merapalkan do'a : "Ya Tuhan ampunilah dosa kedua orang tuaku, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil." Doa' inilah yang selalu menjadi mantera penebus manakala kerinduannya kepada orang tua datang menyergap.

Fakta tentang Asep, dan kehebohan sebagian besar orang untuk menjadi PNS, menunjukkan bahwa masih menggunungnya angka pengangguran di Indonesia. Tugas kita semua, khususnya pemerintah untuk selalu berkreasi menciptakan lapangan kerja dan membantu mereka yang tidak mampu menjadi berdaya.

Para penganggur juga mesti belajar kepada Asep, bahwa hidup tidak hanya sekedar menunggu kenikmatan. Tapi yang terpenting adalah mau bekerja keras untuk hidup dengan kemampuan sendiri.

HEBATNYA ORANG MISKIN

Sering kita merasa bahwa kita memiliki kemampuan luar biasa. Kepintaran kita seolah tiada bandingnya. Kemampuan kita dalam memanfaatkan peluang dan menghasilkan prestasi sungguh luar biasa. Bahkan kita bisa menunjukkan segudang catatan prestasi pribadi dan kemasyarakatan kepada orang lain. Perasaan ini, kerap kali berimplikasi melupakan kelebihan dan jasa orang lain.

Padahal kalau kita mau jujur, sehebat apapun prestasi dan kemampuan kita, maka sesungguhnya kita selalu dibantu oleh orang-orang miskin untuk meraih prestasi itu. Setiap kali kita hendak memperoleh keberhasilan atau kesuksesan, selalu ada ketergantungan kita akan jasa orang-orang miskin dalam meraih keberhasilan tersebut.
Tengoklah ke dalam rumah kita, setiap hari kita selalu bergantung kepada kemampuan para pembantu yang nota bene dari orang-orang miskin. Satu minggu saja rumah tangga kita tidak bantu orang-orang miskin, maka kita akan sadar bahwa ternyata kemampuan kita menghasilkan prestasi menjadi melemah. Satu minggu tanpa pembantu rumah tangga, pada saat pekerjaan di kantor atau di luar menumpuk dan tidak bisa ditinggalkan, maka guncanglah konsentrasi kita. Hilanglah rasa hebat diri yang pernah menyelimuti hati kita.

Mau pergi ke kantor kita memerlukan sopir (dari orang miskin juga), baik sopir pribadi maupun sopir angkutan umum. Tanpa mereka, kelancaran kita menuju tempat aktivitas terganggu. Di tempat kerja, selalu ada orang-orang yang mau mengurusi kebersihan, menyediakan minuman dan pergi kemana saja sesuai permintaan kita (lagi-lagi orang miskin). Apabila mereka ini tidak ada, pekerjaan kita menjadi tertunda atau menjadi melambat temponya.

Semua makanan yang kita makan sehari-hari, juga buah dari kerja keras orang-orang miskin. Karena yang mau menanam padi, jagung atau tanaman lainnya adalah orang miskin. Juga yang beternak atau menangkap ikan di laut adalah orang miskin. Orang miskinlah yang telah menolong kita untuk mengerjakan pekerjaan yang berat-berat, kotor dan berbahaya. Merekalah yang telah menyumbangkan prestasinya sehingga kita hidup nyaman dan mencapai kebanggaan dalam hidup ini.

Bangunan-bangunan megah dan jalan-jalan beraspal licin yang ada di sekeliling kita adalah bukti kerja keras orang-orang miskin. Saudara-saudara kita yang miskin telah berprestasi di negara jiran. Menara kembar yang menurut kabar tertinggi di dunia, terletak di Malaysia, adalah hasil tetesan keringat mereka semua. Bahkan seluruh gedung-gedung di berbagai kawasan dunia, hampir seluruhnya merupakan karya nyata dari orang-orang miskin. Sungguh tiada bandingnya hasil karya dan jasa orang miskin dalam kehidupan kita.Pantaslah jika Rasulullah saw berujar : “Kalian dibesarkan oleh orang-orang miskin di sekeliling kalian”. Ucapan Rasulullah saw ini menunjukkan akan banyaknya jasa orang-orang miskin kepada kita, sekaligus menegaskan bahwa kemuliaan kita juga muncul karena keberadaan orang-orang miskin di sekitar kita.

Jasa besar mereka seringkali tersembunyi oleh nama besar dan simbol-simbol pribadi kita. Seolah yang menjadi pahlawan atau berprestasi hanyalah kita saja atau beberapa gelintir orang. Nama mereka tak pernah diabadikan dalam nama jalan, nama gedung, dokumen sejarah, goresan catatan keberhasilan atau sekedar sebuah sertifikat indah. Jasa mereka telah kita kesampingkan. Dan meskipun mereka kita perlakukan seperti itu, mereka tidak pernah menuntut atau menagih penghargaan. Sungguh begitu hebat orang-orang miskin !