05 January, 2007

MENCERMATI ACEH PASCA PERJANJIAN DAMAI

Kondisi Aceh pasca Tsunami tidak saja menimbulkan penderitaan bagi rakyat Aceh, akan tetapi juga penurunan terhadap kekuataan GAM. Kekuatan GAM setelah terjadinya Tsunami sudah jauh menurun. Entah karena sedang bersimpati atas kondisi Aceh keseluruhan atau karena memang kekuatan mereka sudah semakin sedikit, pasca terjadi Tsunami, aksi-aksi GAM mengalami penurunan drastis. Ada sementara kalangan menduga bahwa kekuatan GAM pasca Tsunami telah menyusut menjadi tinggal separuh dari jumlah kekuatan sebelum Tsunami.
Tapi entah atas pertimbangan atau desakan apa, tiba-tiba saja di tengah rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca Tsunami dilakukan perjanjian damai antara pemerintah RI dengan GAM di Helsinki Finlandia. Puncaknya adalah penandatanganan Nota kesepahaman perjanjian Damai antara pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani pada tanggal 15 Agusus 2005. Penandatanganan perjanjian damai ini disambut sukacita dan rasa syukur oleh sebagian rakyat Aceh. Sementara sebagian lagi menyambutnya dengan keraguan dan kekhawatiran.
Tentu saja setiap bentuk upaya perdamaian harus kita sikapi dengan positif. Tapi Itu tidak berarti kita tidak diperkenankan untuk bersikap hati-hati dan waspada. Kehatian-hatian dan kewaspadaan diperlukan untuk senantiasa bertindak tepat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Jika kita mencoba mendalami poin-poin Nota Kesepahaman antara pemerintah RI dan GAM, maka di dalamnya terdapat beberapa persoalan yang rawan dan perlu diwaspadai oleh kita semua. Poin-poin tersebut adalah :
“Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.” (poin 1.1.2)
“Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.” (poin 1.1.6)
“Lembaga Wali Nangroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” (poin 1.1.7)
“Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional…Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan nota kesepahaman ini akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh…” (poin. 1.2.1.)
Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). (poin 1.3.1)
“…Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.” (poin 1.3.2)
“GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca tsunami (BRR)” (poin 1.3.9)
“Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai hak-hak sipil dan politik dan mengenai Hak-hak ekonomi, sosial dan Budaya.” (poin 1.4.2)
“Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.” (poin 3.2.5 (a)
“Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar Nasional.” (poin 3.2.7)
“GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya…”(poin 4.2)
“…GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata.” (poin 4.3)
“Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.” (poin 4.7)
Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.” (poin 5.1)

Dari sebagian poin-poin nota kesepahaman tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan :
GAM yang kekuatannya sudah lemah mendapatkan pengakuan dan penguatan kembali.
Pesonil GAM yang diperkirakan kini hanya memiliki kekuatan maksimal 2000 orang memiliki banyak hak-hak istimewa dalam pemerintahan dan ekonomi dibandingkan jutaan rakyat Aceh lainnya.
Propinsi Aceh akan menjadi wilayah persis sebagaimana negara bagian dalam negara federal
Terjadi perubahan mendasar tentang sistem pemerintahan, undang-undang, sistem politik dan pengelolaan ekonomi.
Menguatnya kekuatan internasional seperti PBB dalam pengelolaan Aceh dengan jargon Hak Asasi Manusia dan hak-hak sipil.

Lalu apa yang harus kita waspadai :
Digusurnya sistem syariah Islam dalam seluruh pengaturan undang-undang dan pemerintahan. Menguatnya kesadaran dan pelaksanaan syariah di Aceh yang sudah ada sekarang jangan sampai terkikis karena masuknya unsur GAM dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Konsolidasi persiapan Referendum Aceh untuk memerdekakan diri. Jangan sampai personil GAM dibantu kekuatan-kekuatan asing memanfaatkan momentum damai ini sebagai tahapan konsolidasi untuk pelaksanaan referendum kemerdekaan Aceh.
Tekanan dan ketidakadilan perlakuan terhadap rakyat Aceh. Para personil GAM begitu diistimewakan dibandingkan Rakyat Aceh lainnya, bahkan terjadi penekanan dan penganiayaan rakyat Aceh oleh personil mantan GAM.

Lalu tugas apa yang harus kita lakukan di Aceh sekarang :
Meningkatkan dakwah Islam, khususnya dalam rangka terus membangkitkan kesadaran dan pelaksanaan Syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Mendukung kekuatan-kekuatan partai politik dan ormas Islam yang memperjuangkan pelaksaan syariat dan perwujudan kehidupan yang lebih Islami.
Melakukan komunikasi dan sosialisasi demi menjaga tidak lepasnya Aceh dari genggaman wilayah RI.
Mencegah masuknya kekuatan kapitalis asing menguasai Aceh melalui pintu perdagangan bebas yang dibuka langsung untuk Aceh.
Mencegah terjadinya kebangkrutan dan ketergantungan Aceh pada negara atau kekuatan asing karena hutang luar negeri yang terus membesar.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh melalui berbagai bentuk kegiatan baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial.
Kita perlu bekerjasama dan bersinergi dalam pelaksanaan tugas di atas. Wallahu A’lam !
Jakarta, 20 Agustus 2005

Ahmad Juwaini
Penanggung Jawab Program Aceh Dompet Dhuafa Republika 2005 - 2006

No comments: