Salah satu budaya buruk yang berkembang di tengah-tengah kita saat ini adalah memandang jabatan pemimpin sebagai kenikmatan. Semua orang telah terbiasa membayangkan sisi kepemimpinan sebagai dimensi kesenangan. Setiap kali kita memikirkan kepemimpinan, maka yang muncul adalah fasilitas dan popularitas.
Refleksi ini secara tidak sadar, dapat kita lihat pada berbagai bentuk polah tingkah kita. Sebelum menjadi pemimpin, kita terbiasa untuk membesar-besarkan diri melalui kampanye yang tidak proporsional. Tidak soal bahwa jabatan pemimpin itu pantas atau tidak untuk kita, yang penting kita bisa mendudukinya. Biarpun biaya kampanye mahal, tetap kita lakukan, dengan harapan setelah menjadi pemimpin akan terbayarkan.
Saat kita dipilih menjadi pemimpin, tanpa rasa malu kita mengadakan “pesta kemenangan”. Seolah-olah kita telah mengalahkan seseorang atau sesuatu. Ucapan selamat dan puja-puji mengalir kepada kita. Penuh kebanggaan kita menyambut semua itu.
Ketika mulai melaksanakan tugas, tidak sedikitpun kita merasa bersalah. Dengan entengnya kita menyalahkan para pendahulu sebagai pembuat masalah. Seakan-akan kita menjadi pemimpin bukan di tempat adanya masalah tersebut. Padahal sebelum dilantik menjadi pemimpin, kita telah menyatakan kesediaan untuk menerima jabatan tersebut dengan segala konsekuensinya.
Setelah kita menjadi pemimpin dan tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang ada, kitapun tidak merasa bersalah. Begitu pandai kita menuduh faktor-faktor di luar diri kita sebagai penyebab. Ketika banyak tuntutan datang kepada kita, agar kita berhenti dari sebuah jabatan, kita bersembunyi di balik ketiak orang yang mengangkat kita. Dengan berargumen bahwa jika diberhentikan oleh yang mengangkat, kita siap untuk mundur.
Manakala habis masa jabatan, kita menjadi sedih. Tanpa rasa malu kitapun ikut pemilihan lagi. Mencoba lagi melakukan kampanye. Dengan harapan akan terpilih lagi menjadi pemimpin dengan segala kenikmatannya.
Sungguh, tidak ada sedikitpun rasa takut di hati kita. Tidak secuilpun kita merasa khawatir bahwa kepemimpinan itu akan menjerumuskan kita. Tidak ada kesadaran dalam hati kita bahwa seorang pemimpin adalah pemegang amanah. Manakala amanah itu tidak ditunaikan dengan benar, maka kehinaan yang akan terjadi.
Seorang pemimpin adalah pemegang amanah urusan masyarakat. Ia bukan hanya mengurusi dirinya dan keluarganya, akan tetapi juga mengurusi orang banyak. Jika ada urusan masyarakat yang tidak tertangani dengan baik, ia akan bertanggung jawab.
Apabila masih ada anggota masyarakat yang lapar, ia bertanggung jawab. Apabila masih ada anggota masyarakat yang sakit, ia bertanggung jawab. Apabila masih ada anggota masyarakat yang buta huruf, ia bertanggung jawab. Apabila masih ada anggota masyarakat yang dizalimi, ia juga bertangung jawab. Pendeknya pemimpin adalah penanggung jawab urusan masyarakat dalam bidangnya masing-masing.
Pemimpin adalah orang yang takut, apabila ada urusan masyarakat yang tidak tertunaikan. Pemimpin adalah orang yang takut tergelincir dari amanah yang dipegangnya. Pemimpin adalah orang yang senantiasa takut, kalau-kalau ada anggota masyarakat yang merasa terzalimi dengan kepemimpinannya.
Pemimpin juga adalah orang yang pemalu apabila hendak berbuat salah. Pemimpin adalah orang yang pemalu manakala hendak mempertontonkan keburukan. Pemimpin adalah orang yang pemalu untuk tampil berlebihan. Pemimpin adalah orang yang sangat pemalu, jika pada masa kepemimpinannya ada kegagalan untuk mengatasi masalah.
Masih adakah hari ini pemimpin yang takut dan pemalu?
No comments:
Post a Comment