14 January, 2007

DALAM TUBUH SEHAT ADA JIWA SAKIT

Mungkin tak banyak orang yang mengenal Sulastri, wanita separuh baya. Sudah tujuah tahun ia mengidap tumor ganas di keningnya. Tumor yang sebesar apel merah tepat di dahinya itu, selalu menghalanginya ketika bersujud dalam shalatnya. Derita tumor itu ditanggungnya bertahun-tahun karena tak kuasa untuk memeriksakannya ke dokter. Jangankan untuk mengobati penyakit, untuk makan sehari-haripun ia merasa tidak cukup.
Coba bandingkan dengan Yanti, gadis muda yang beruntung memiliki keluarga berada. Jerawat kecil yang baru mulai tumbuh di pipi saja, siang malam membuatnya tidak bisa tenang. Berbagai ramuan kesehatan, sampai aneka obat dicobanya untuk menghilangkan jerawatnya itu. Tidak lupa pula dikunjungi dokter spesialis kulit terhebat di kotanya, meski ia harus menanggung biaya yang tidak sedikit. Bagi Yanti, jerawat di pipi adalah malapetaka besar pada masa remajanya. Beruntung bagi Yanti memiliki orang tua kaya, biaya kesehatan asesoris yang besar pun tidak jadi masalah. Tapi bagi Sulastri, Tumor yang sudah mengancam kehidupannyapun seperti tak kuasa menggerakkannya untuk menikmati layanan kesehatan. Sungguh malang nasib Sulastri.
Paradoks kehidupan seperti dialami Sulastri dan Yanti adalah potret kehidupan kita sehari-hari. Pembengkakan biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat bagai tak berkesudahan. Entah memang karena alasan semakin mahalnya biaya bahan baku farmasi, biaya proses produksi yang semakin tinggi, meningkatnya biaya pendidikan menjadi dokter atau karena besarnya bonus dan fasilitas yang harus diberikan apotik dan perusahaan obat kepada dokter. Ujungnya pasienlah yang harus menanggung semua itu. Bagi masyarakat yang mampu, mahalnya biaya kesehatan mungkin tidak berpengaruh banyak. Tapi bagi masyarakat menengah bawah, sungguh ini terasa sangat memberatkan.
Tentu saja pemerintah telah berusaha keras mencoba mengatasi masalah ini. Misalnya dengan memberikan layanan kesehatan murah di puskesmas dan rumah sakit-rumah sakit pemerintah. Tapi masalahnya, banyak layanan tersebut yang dilakukan dengan seadanya. Jumlahnya pun masih terbatas, sehingga pasien setiap hari harus antri berkepanjangan dalam jumlah jam praktek yang semakin menipis. Tidak sedikit kejadian, sejumlah empat atau lima pasien diperiksa secara “kolektif” oleh satu dokter sekaligus dalam satu panggilan periksa. Tanpa ulasan senyum sama sekali, pelayanan kesehatan berombongan ini ditempuh untuk mempercepat proses pelayanan. Mungkin karena dokternya masih banyak urusan, termasuk praktek di tempat lain yang bayarannya lebih mahal.
Pemerintah pun telah mengembangkan obat generik untuk menekan laju kemahalan obat. Tapi bagi sementara kalangan, penggunaan obat generik dianggap sebagai penurunan kelas dan prestise. Dokter yang menulis resep untuk obat generik juga seringkali penuh pandangan iba kepada pasien yang meminta obat generik. Seolah-olah pengguna obat generik adalah kelas masyarakat yang perlu dikasihani. Tentu saja ini semua membuat setiap orang yang ingin meminta dibuatkan resep obat generik menjadi tidak nyaman, kecuali bagi mereka yang sangat terpaksa.
Untuk mengurangi tekanan derita masyarakat menengah bawah, sudah saatnya apabila pemerintah membebaskan biaya layanan kesehatan di seluruh puskesmas di Indonesia yang disertai dengan peningkatan kualitas layanan bagi semua pasien. Kebijakan ini juga merupakan perwujudan puskesmas sebagai layanan kesehatan dasar bagi masyarakat menengah bawah. Pemerintah juga harus membebaskan biaya layanan kesehatan di semua rumah sakit umum bagi pemilik kartu Gakin (Keluarga Miskin) untuk semakin memberikan kemudahan bagi orang miskin dalam menikmati layanan kesehatan.
Akhirnya kebijakan ini juga harus didukung oleh semua pihak, khususnya kalangan menengah atas. Misalnya dengan turut serta dalam pendirian dan pengembangan unit-unit kesehatan bermutu bagi orang miskin tanpa memungut biaya. Kita patut bersyukur karena kita mampu menikmati layanan kesehatan, sehingga badan kita menjadi sehat. Tapi tidak cukup badan kita sehat, kitapun harus harus memiliki jiwa yang sehat. Yaitu jiwa yang selalu peduli dengan nasib sesamanya yang kesulitan. Bukan sebaliknya, dalam tubuh kita yang sehat, tapi di dalamnya ada jiwa yang sakit.

No comments: