14 January, 2007

MEWUJUDKAN SERAMBI MADINAH PASCA TSUNAMI

Bencana Tsunami yang telah meluluhlantakkan Aceh adalah sebuah sejarah kelam bagi masyarakat di wilayah Serambi Mekkah. Dampak mega bencana tersebut bukan hanya merusakkan segala fasilitas fisik dan tata kehidupan secara lahiriah, tetapi juga memporak-porandakan bangunan sosial, nilai-nilai dan budaya yang telah ada. Bencana Tsunami telah memunculkan suasana baru dalam skala akibat persoalan yang sangat luas.

Dibalik segala derita yang menyertainya, bencana Tsunami juga adalah sebuah berkah tersendiri bagi masyarakat Aceh. Dengan terjadinya bencana tsunami, maka mata dunia telah menoleh. Solidaritas global telah dibangkitkan. Uluran tangan dan bantuan telah dialirkan. Ratusan Ribu manusia berbagai bangsa telah datang untuk menyaksikan sendiri akibat malapetaka tersebut. Berbagai negara dan organisasi menyiapkan program guna turut serta membantu masyarakat Aceh. Pemerintah Indonesia pun mengucurkan dana puluhan trilyun untuk memulihkan kondisi. Dibantu dengan dana trilyunan dari berbagai negara yang terlibat membantu Aceh.

Kedatangan berbagai macam manusia dan bantuan ke Aceh tentu saja telah meringankan sebagian tangis pilu masyarakt Aceh. Sebagian besar pengungsi yang tinggal di tenda-tenda kini telah kembali bertempat tinggal, baik pada hunian sementara maupun rumah permanen. Sebagian besar masyarakat yang kehilangan mata pencaharian, kini telah bekerja atau berusaha lagi. Wajah-wajah kelu yang menyemburatkan luka jiwa, kini telah bertukar dengan keceriaan dan gairah untuk melanjutkan hidup kembali. Anak-anak sekolah kini sudah bergembira dalam riang belajar bersama teman dan guru-guru.

Sawah-sawah kini mulai ditanami. Pasar dan pertokoan telah hidup kembali. Kantor-kantor telah dihiasi lalu lalang pegawai berseragam yang menenteng kertas dan berkas untuk mengisi kesibukan. Dayah dan meunasah telah menggeliat lagi dengan warna ibadah dan menderas ilmu-ilmu agama. Masjid Baitur Rahman di pusat kota Banda Aceh tampak telah berjubel lagi ketika waktu sholat jum’at tiba. Di Berbagai wilayah dan kawasan tampak pembangunan baru atau sekedar merenovasi gedung sedang dilakukan. Jalan-jalan pun diperbaiki dan dibentangkan lagi menyusuri Tanah Rencong dari mulai Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan. Roda kehidupan masyarakat Aceh terus berderap.

Penataan kembali Aceh pasca Tsunami yang tampak semakin baik, bukan berarti tanpa persoalan. Berbagai masalah masih menghiasi. Seperti lambatnya pembangunan sarana infrastruktur, belum efektifnya penataan sistem adminitrasi pemerintahan, ketidakjelasan atau tumpang tindihnya pengaturan kewenangan, penyalahgunaan dan penimbunan bantuan, termasuk masalah pungli dan korupsi yang masih terjadi.

Masalah-masalah lain yang juga masih ditemui adalah pergaulan bebas, kriminalitas, judi, peredaran minuman keras, ganja dan narkoba. Yang juga cukup mengganggu adalah derasnya kegiatan pemurtadan yang dilakukan baik oleh organisasi lokal maupun internasional. Berbagai cara ditempuh untuk mengikis dan menukar keyakinan dan pemahaman yang dimiliki masyarakat sebagai warisan budaya Islam yang cukup lama hidup di Aceh. Menjadi tugas semua pihak untuk mengatasi masalah-masalah yang masih terhadi di Aceh.

Quo Vadis Aceh Pasca Tsunami ?
Kini, setelah setahun Tsunami berlalu, kita dihadapkan dengan sebuah pertanyaan besar : Mau kemana Aceh ini kita arahkan ? Apakah kita biarkan saja semua instansi, lembaga dan organisasi melakukan apa saja di Aceh, yang penting semuanya bertujuan menolong masyarakat Aceh ? Apakah kita biarkan semua orang dan semua lembaga untuk menyusun sendiri arah dan tujuan programnya di Aceh, tanpa ada kendali singkronisasi dan kordinasi ? Tidak adakah suatu tujuan bersama tentang Aceh masa depan yang bisa menjadi platform bersama ?

Pertanyaan mengenai mau kemana Aceh kita arahkan menjadi sangat penting untuk dijawab. Karena dengan masuknya berbagai manusia dan organisasi yang membawa berbagai macam kepentingan seringkali membuat kita tidak percaya diri. Apalagi kalau yang datang tersebut adalah lembaga-lembaga donor yang mau mengucurkan dana, maka tiba-tiba saja kita menjadi orang yang bisu dan lebih banyak melayani apa maunya pemberi bantuan.

Tentu saja, sudah ada Blue Print Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh yang disusun guna mengkompilasi keinginan menata Aceh pasca Tsunami. Tapi masalahnya di tingkat implementasi, apakah blue print itu sudah memadai ? Dan kalaupun memang sudah memadai apakah pada tingkat pelaksanaannya sudah konsisten dan sesuai dengan apa yang tersebut di dalamnya. Seringkali Blue Print tersebut hanya menjadi setumpuk kertas yang tidak memiliki daya sama sekali dalam tekanan situasi dan realitas yang harus dihadapi.

Tanpa adanya panduan arah masa depan Aceh yang jelas, maka berbagai program pembangunan yang dilaksanakan di Aceh akan menjadi centang perenang tanpa arah. Bagaikan sebuah kanvas lukisan putih yang digambari oleh banyak pelukis, dimana satu pelukis dengan pelukis yang lain, tidak saling berkomunikasi dan berkordinasi. Tentu saja hasil yang ada di lukisan tersebut hanyalah sekumpulan goresan yang tidak bermakna apa-apa, kecuali makna bahwa semua orang telah melukis.

Sudah saatnya kita menjelaskan arah masa depan Aceh pasca Tsunami. Kejelasan arah ini akan memudahkan kita untuk melaksanakan program-program. Kejelasan arah juga akan memudahkan setiap orang dan setiap lembaga untuk memberikan kontribusi yang sinergis dalam mewujudkan mimpi Aceh masa depan.


Dari Serambi Mekkah menuju Serambi Madinah
Dalam perjalanan pembangunan masyarakatnya, Nabi Muhammad saw memulai dari kota Mekkah. Mekkah adalah simbol penegasan dan penguatan keyakinan, melalui simbolisasi Ka’bah yang diwarisi dari ajaran Tauhid Nabi Ibrahim. Masyarakat Mekkah yang diliputi dengan berbagai kejahiliyahan dirubah oleh Nabi saw untuk kembali pada Iman yang lurus, melaksanakan ibadah yang pokok dan pembangunan akhlaq yang mulia.

Selanjutnya dalam perkembangan perubahan masyarakatnya, Rasulullah saw berhijrah dari Mekkah menuju Madinah. Madinah adalah simbol pembangunan masyarakat dan tegaknya peradaban mulia. Madinah adalah kota metropolitan bagi tumbuhnya sistem ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya yang sejahtera. Madinah juga simbol tata pergaulan masyarakat internasional yang saling menghargai di atas landasan nilai-nilai ajaran Islam.

Berkaca dari sejarah perjalanan Nabi Muhammad saw tersebut, sudah saatnya apabila pembangunan Aceh pasca Tsunami dirubah dari citra Serambi Mekkah menjadi Serambi Madinah. Yaitu citra yang bukan semata-mata relijius semata, akan tetapi relijiusitas itu telah dimplementasikan dalam sistem masyarakat Aceh yang nyata. Dengan demikian pembangunan Aceh diarahkan menjadi wilayah yang maju, modern dan sejahtera secara lahiriah, sekaligus di dalamnya dibangunkan nilai-nilai, aturan dan sistem yang berlandaskan kepada ajaran Islam.

Arah citra Serambi Madinah ini juga semakin relevan dengan rencana strategis menjadikan kota Banda Aceh menjadi kota internasional. Dimana saat ini Bandara Banda Aceh juga sedang diperbaiki menjadi bandara internasional, sarana, prasarana dan fasilitas kota juga diperbaiki untuk memenuhi standar kota internasional. Termasuk juga rencana menjadikan seluruh Banda Aceh sebagai kota dengan akses internet wireless (Hot Spot) gratis pertama di Indonesia.

Akan tetapi seluruh kemajuan dan kesejahteraan lahiriah Aceh tersebut harus tetap bersendikan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Yaitu dengan cara menerapkan pelarangan judi, minuman keras, ganja dan narkoba serta pelarangan pergaulan bebas dan perzinahan. Juga dengan diterapkannya pemakaian busana muslim. Kesemuanya itu dibingkai dengan Akhlaq yang mulia beserta keramahan dan kesopanan yang tinggi dari warga Aceh. Semoga semua ini segera terwujud, sehinga suatu hari kita bisa menyampaikan kepada setiap tamu yang datang di Aceh : “Selamat Datang di Serambi Madinah !”

No comments: