18 January, 2007

IMUN BENCANA

Negeri kita, memang tidak salah disebut “Negeri Seribu Bencana”, karena di negeri kita ini bencana datang silih berganti. Bukan hanya bencana yang kecil-kecil, akan tetapi juga yang besar-besar.Bahkan bencana terbesar abad ini juga terjadi di negeri kita.

Rasanya belum kering air mata kita tumpah, saat bencana Tsunami menerjang Aceh dan Nias. Ratusan ribu nyawa melayang dan ribuan orang yang mengalami luka-luka. Ratusan ribu pengungsi beratap tenda bertaburan dimana-mana. Ornamen kesedihan dan kepedihan mengaliri rongga dada anak negeri ini.

Belum usai kita mengembalikan rumah dan sarana umum di Aceh dan Nias seperti semula, bencana lain sudah terjadi lagi. Susul menyusul bencana itu mengunjungi negeri zamrud khatulistiwa ini. Dari mulai banjir kediri, longsor di Banjar negara, banjir di Menado, kelaparan di Papua dan kekeringan di Nusa Tenggara Timur.

Bahkan dalam dua bulan terakhir ini, rangkaian bencana tersebut bagai mengalami akselerasi. Mulai dengan gelegak Merapi yang terus menimbulkan ancaman sampai hari ini. Sampai kemudian terjadi gempa di Jogja dan Jateng yang menewaskan lebih dari 6000 orang. Diikuti bencana lumpur di Porong Jatim dan ditimpali oleh bencana banjir dan longsor di Sulawesi Selatan. Korban terbesar banjir di Sulsel ini adalah di Sinjai yang menewaskan lebih dari 200 orang.

Rupanya bencana banjir masih terus berlanjut di Gorontalo, Kalsel, Balikpapan dan Bolang Mongondow Sulut. Kita tidak tahu, dimana lagi bencana ini masih akan terjadi. Kita tentu tidak mengharapkan ada bencana lagi. Mudah-mudahan cukuplah bencana ini sampai di sini.

Karena begitu sering dan bertubi-tubinya bencana terjadi, ada perubahan dalam diri kita yang tanpa disadari. Perubahan itu saya sebut sebagai “Imun Bencana”. Yaitu suatu keadaan dimana kita kehilangan atau kekurangan solidaritas, empati dan rasa terguncang akibat penderitaan orang.

Ketika terjadi Gempa Jogja dan Jateng yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa, perasan kita adalah : “Meninggal 6000 orang belum ada apa-apanya dibandingkan lebih dari 250.000 jiwa di Aceh”. Ketika di Sinjai tewas lebih dari 200 orang, respon kita : “Dua Ratus orang adalah sangat kecil dibandingkan korban Gempa di Jogja dan Jateng”. Puncaknya adalah kehilangan nyawa manusia atau berdarah-darahnya luka akibat bencana telah menjadi pemandangan amat biasa bagi kita. Apalagi cuma derai air mata kesedihan dan kering kerontang tubuh manusia sebagai akibat bencana adalah gambaran sederhana yang sudah tidak memiliki pengaruh apa-apa kepada kita.

Munculnya Imun Bencana, mungkin disebabkan karena kita sudah merasa menghabiskan begitu banyak solidaritas. Sudah amat banyak bantuan yang coba kita ulurkan. Sudah sangat banyak peduli dan empati yang kita bagikan. Bahkan airmata kesedihan dari kita sudah habis kita teteskan. Puncaknya bahkan perasaan kitapun sudah mulai digerogoti sehingga habis tak tersisa.

Saya jadi teringat pada Hadits Nabi saw yang berbunyi : “Jika kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tanganmu. Jika kalian tidak sanggup, maka rubahlah dengan lisanmu. Dan kalau tidak sanggup juga dengan lisan, maka rubahlah dengan hati kalian. Dan itu adalah selemah-lemah iman.”

Jadi kalau dengan adanya berbagai bencana yang terjadi ini, kita sudah tidak sanggup membantu korban bencana dengan harta, tenaga, pikiran, atau sekedar meneteskan airmata, tapi janganlah matikan hati kita untuk terus peduli dan empati. Jangan biarkan Imun Bencana tumbuh subur dan bersemayam di hati kita. Karena hati yang masih peduli dan empati adalah benteng terakhir yang masih kita miliki. Dan meskipun itu juga simbol selemah-lemah iman kita !

No comments: