13 June, 2019

Meninjau Ulang Nazhir Perseorangan


Pengelolaan wakaf di Indonesia telah berkembang dengan sangat cepat. Pengaturan tentang wakaf di Indonesia telah dimuat pada Undang-Undang No. 41 Tahun 2004. Tentu saja, isi dari undang-Undang (UU) Wakaf tersebut telah merujuk kepada hukum-hukum fikih yang telah ditetapkan oleh para ulama, khususnya kepada empat Imam Mazhab (Hambali, Maliki, Hanafi dan Syafi’i).
Meskipun isi dari UU Wakaf tersebut telah merujuk kepada pendapat hukum dari para ulama, namun bukan suatu yang terlarang, apabila kita memikirkan ulang beberapa hal yang di atur di dalamnya.
Salah satu topik yang sudah waktunya untuk kita timbang kembali kedudukannya adalah tentang Nazhir Perseorangan. Apa yang dimaksud dengan Nazhir ? Berikut ini penjelasan tentang Nazhir sebagaimana tersebut di dalam UU No. 41 Tahun 2004;
Pasal 1 ayat (4) berbunyi  : Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Pada Pasal 9 disebutkan tentang jenis-jenis Nazhir. Ada yang berupa perseorangan, organisasi, dan badan hukum. 
Tentang persyaratan Nazhir perseorangan dijelaskan pada Pasal 10 ayat (1) : Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai warga negara Indonesia (WNI), beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Adapun mengenai tugas dan tanggung jawab Nazhir dijelaskan pada Pasal 11, yang berbunyi : Nazhir mempunyai tugas: 
a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf. 
b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.
c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Kalau kita memperhatikan tentang tugas dan tanggungjawab Nazhir wakaf tersebut di atas, maka diperlukan suatu pengelolaan sebagai nazhir yang sungguh-sungguh. Nazhir memerlukan kompetensi sekaligus komitmen mengelola wakaf. Nazhir dituntut untuk melakukan berbagai daya upaya untuk memanfaatkan atau memproduktifkan aset wakaf yang diamanahkan kepadanya. 
Dengan mempertimbangkan beratnya tanggung jawab mengelola wakaf, dan dengan mempertimbangkan perkembangan manajemen pada zaman sekarang ini, sudah selayaknya, apabila Nazhir tidak lagi berbentuk (dikelola) sebagai perseorangan. Meskipun keberadaan Nazhir perseorangan itu sah secara hukum syariah (fikih), akan tetapi pemerintah bersama para ulama saat ini dimungkinkan untuk merekomendasikan agar amanah wakaf tidak dititipkan kepada Nazhir perseorangan. Nazhir untuk saat ini sebaiknya tidak berbentuk perseorangan, akan tetapi berbentuk lembaga atau organisasi.  
Alasan
Berikut ini adalah beberapa alasan, mengapa Nazhir perseorangan saat ini sebaiknya tidak diamanahi wakaf oleh masyarakat. Pertama, hambatan dalam menjaga kelangsungan wakaf. Nazhir perseorangan artinya mengamanahkan pengelolaan wakaf pada masa hidup seseorang, sementara mengelola wakaf bisa dalam jangka panjang.
Akan menjadi masalah apabila Nazhir perorangan, karena apabila si Nazhir itu sudah tua renta, yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk melihat, mengingat, berpikir dan beraktivitas secara fisik, maka akan menghambat pekerjaannya sebagai Nazhir.
Apalagi kalau si nazhir itu meninggal, akan menimbulkan masalah alih kelola wakaf secara mendadak. Kalau kemudian kenazhirannya diwariskan kepada anaknya misalnya, anaknya belum tentu memiliki kelayakan sebagai Nazhir. Jadi, menyerahkan amanah wakaf saat ini ke perorangan berpotensi menimbulkan masalah dalam jangka panjang.
Kedua, lemahnya proses check and balance. Apabila Nazhir adalah perseorangan, maka tidak terjadi proses check and balance dalam proses kenazhirannya. Sebaik apapun manusia, berpotensi untuk menyimpang. Setiap manusia tidak luput dari godaan syetan yang bisa mendorongnya untuk melakukan penyelewengan.
Ketika seorang Nazhir dititipi amanah wakaf untuk dikelola, dan kemudian pada suatu titik dia tergelincir akibat godaan hawa nafsunya, maka pada kondisi ini tidak ada seorang pun yang akan mengingatkannya, karena dia satu-satunya orang yang secara langsung mengetahui amanah dan peruntukan dari harta wakaf tersebut. Dalam posisi Nazhir perorangan, tidak terjadi proses saling mengingatkan dan mengawasi di antara individu sebagai Nazhir.
Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia. Dalam manajemen modern, kita diajari bahwa, kerjasama dua orang atau lebih manusia untuk suatu tujuan, berpotensi untuk mencapai hasil yang lebih baik. Kerjasama dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan ini disebut sebagai organisasi. Proses dan dinamika kumpulan orang di dalam organisasi ini disebut sebagai manajemen.

Apabila Nazhir hanya terdiri satu orang, tidak terjadi proses manajemen, dan tentu saja hasilnya diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan pengelolaan pada sebuah organisasi. Pengelolaan wakaf hari ini yang menuntut kemampuan manajemen aset wakaf dan manajemen investasi wakaf, semakin meniscayakan kehadiran kumpulan orang dalam organisasi. Pada masa sekarang ini, dalam pengelolaan wakaf, yang diperlukan bukan super man, akan tetapi yang diperlukan adalah super team.
Keempat, sulitnya pendataan wakaf. Salah satu masalah wakaf di Indonesia adalah lemahnya pendataan wakaf. Selain Kantor Urusan Agama (KUA) dan kementerian agama, faktor kunci untuk terwujudnya pendataan wakaf yang baik adalah Nazhir yang baik.
Karena Nazhir adalah pihak yang paling mengetahui keadaan dari aset wakaf yang dikelolanya, apakah masih terbengkalai (idle), belum berkembang, atau sudah berkembang produktif dan menghasilkan surplus beberapa kali lipat. Dengan nazhir perseorangan, maka semakin sulit untuk melakukan pendataan aset wakaf, karena pada umumnya, nazhir wakaf lemah dalam mencatat aset dan perkembangan wakafnya.  
Itulah beberapa kelemahan Nazhir wakaf perseorangan. Dengan memahami beberapa kelemahan nazhir perseorangan, sudah selayaknya apabila nanti dilakukan revisi Undang-undang Wakaf, atau apabila pemerintah mengeluarkan regulasi terkait pengelolaan wakaf, agar meninjau ulang keberadaan Nazhir wakaf perseorangan. Wallahu a’lam



31 May, 2019

Mewujudkan Indonesia Ramah Zakat (Bagian 2)


Untuk memaksimal penghimpunan zakat nasional, kita harus menjawab satu pertanyaan besar: Bagaimana caranya agar semua Muslim yang memiliki penghasilan atau kekayaan mencapai nishab dengan mudah membayar zakat secara otomatis, terus menerus, tanpa harus ada sosialisasi/kampanye zakat secara massif dan besar ? 
Kampanye dan sosialisasi zakat (yang massif dan besar) cukup dilakukan di awal, sebagai pemberitahuan dan penjelasan akan kesadaran kewajiban dan mekanisme pembayaran zakat. Selanjutnya setelah kampanye dan sosialisasi besar ini semua orang akan diminta untuk mengisi formulir kesediaan berzakat dan pilihan lembaga zakat yang akan menjadi tempat penyalurannya. 
Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam mengupayakan agar semua orang Islam yang telah memiliki kekayaan/penghasilan mencapai nishab membayar zakat adalah sebagai berikut. Pertama, semua PNS dipotong gajinya dan langsung tersalur ke BAZNAS. Untuk mendukung kebijakan ini bisa dikeluarkan Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, keputusan Pimpinan Badan/lembaga Negara, Keputusan Gubernur atau Keputusan Bupati/Wali Kota.
Termasuk dalam kelompok pertama ini adalah karyawan BUMN dan BUMD. Sebagian penghasilan mereka juga dapat disisihkan untuk pembayaran zakat. Kemudian disalurkan melalui BAZNAS. 
Apabila ada pegawai negeri yang zakatnya tidak ingin disalurkan ke Baznas, maka dia dapat mengajukan surat pernyataan. Di dalamnya dapat mencantumkan lembaga amil zakat yang datanya terhubung secara nasional. Surat itu juga harus mencantumkan alasannya mengapa memilih LAZ tersebut.
Kedua, semua karyawan swasta dipotong gajinya dan langsung tersalur ke BAZNAS/LAZ/Tempat pembayaran zakat lain yang datanya terhubung secara nasional. Untuk mewujudkan kebijakan ini, bisa dikeluarkan keputusan pimpinan KADIN, keputusan pimpinan APINDO, keputusan pimpinan asosiasi industri, atau pimpinan perusahaan. 
Setelah dikeluarkannya keputusan untuk menguatkan kebijakan, semua karyawan swasta akan diminta mengisi formulir kesediaan berzakat dan pilihan LAZ untuk penyaluran dari yang bersangkutan.
Ketiga, tentu saja, selain PNS dan karyawan swasta, ada banyak pengusaha dan profesi lain di dalam masyarakat. Kepada kelompok ketiga ini, kita bisa menggunakan mekanisme pendekatan kepemilikan rekening bank.
Semua Muslim pemilik rekening tabungan akan ditawari kesediaan untuk dipotong zakatnya. Apabila jumlah dana di rekeningnya telah mencapai nishab, langsung dipotong dari rekeningnya dan langsung tersalur ke BAZNAS/LAZ/tempat pembayaran zakat lain yang datanya terhubung secara nasional.
Untuk mewujudkan kebijakan ini, perlu dilakukan kerja sama dengan asosiasi-asosiasi perbankan. Seperti Himbara, Asbisindo, Asbanda, dan kerja sama dengan bank-bank swasta.
Dengan tiga langkah tersebut di atas, diharapkan tidak ada lagi orang Islam yang hartanya atau penghasilannya sudah mencapai nishab, tetapi tidak membayar zakat melalui lembaga pengelola zakat, yang datanya terkoneksi secara nasional. 
Semua orang yang masuk kategori wajib zakat, tidak akan terlewat untuk membayar zakat secara mudah. Tidak perlu biaya besar. Berlangsung secara terus menerus. Kondisi ini yang dimaksud dengan kemudahan berzakat atau zakat yang ramah bagi para muzakki.
Mustahik
Lalu bagaimana  dengan perlakuan terhadap mustahik (penerima zakat) ? Dalam konteks ramah zakat ini, perlu dibuat sistem penyaluran zakat yang mudah, akurat dan tepat sasaran. Mustahik, semisal orang miskin tidak perlu lagi datang ke lembaga zakat untuk menerima bantuan.
Sistem database yang ada di lembaga zakat sudah mampu menyediakan data (by name by address) mustahik, bahkan pada data tersebut juga sudah diketahui tingkat pendapatan dan tingkat kemiskinan, apakah sudah pernah dibantu oleh lembaga zakat? 
Apakah sudah pernah dibantu dengan program pemerintah (misal Program Keluarga Harapan)? Juga data bagaimana perkembangan setelah dibantu oleh lembaga zakat atau dibantu dengan program pemerintah tersebut.
Apabila seorang mustahik memenuhi kelayakan mendapatkan bantuan zakat (berdasarkan data yang terverifikasi), untuk selanjutnya mustahik akan mendapatkan bantuan yang ditransfer ke rekening mustahik di bank syariah. Baik bantuan yang bersifat insidental, maupun bantuan yang bersifat berkelanjutan. 
Tentu saja terdapat pula mekanisme untuk melakukan pendampingan, pemantauan dan evaluasi atas perkembangan mustahik. Data perkembangan setiap mustahik ini juga terhubung dengan data dampak program zakat terhadap keseluruhan mustahik di suatu wilayah.
Pendeknya, dengan Indonesia ramah zakat artinya semua orang yang berurusan dengan zakat (muzakki dan mustahik) akan mendapatkan kemudahan (zakat friendly). Selain kemudahan bagi muzakki dan mustahik, pihak lainnya, seperti amil, pemerintah, pihak swasta dan masyarakat lainnya yang berkepentingan dengan zakat akan mendapatkan kemudahan.
Pengelolaan zakat juga terintegrasi dengan kegiatan pembangunan, penanganan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik yang dilakukan pemerintah, maupun yang dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat.



09 May, 2019

Mewujudkan Indonesia Ramah Zakat (Bagian 1)


Kalau kita lihat perilaku berzakat orang Indonesia saat ini, orang Islam di Indonesia melakukan pembayaran zakat melalui :
1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), yaitu organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah dari pusat atau Nasional sampai Kabupaten/Kota.
2. Lembaga Amil Zakat (LAZ), yaitu organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat dari Nasional sampai Kabupaten/Kota.
3. UPZ (Unit Pengelola Zakat yang berada di instansi pemerintah, perusahaan, masjid) yang menginduk kepada BAZNAS.
4. MPZ (Mitra Pengelola Zakat yang berada di perusahaan, masjid, organisasi) yang menginduk kepada LAZ)
5.  Lembaga Zakat tidak terdaftar, termasuk juga ke Masjid, Panti Yatim dan Pesantren.
6.  Langsung dibayarkan ke Mustahik (Fakir, Miskin, Muallaf, Fii sabilillah dan lain-lain).
Merujuk kepada data penghimpunan zakat nasional dari BAZNAS, keseluruhan zakat yang terhimpun dari BAZNAS dan LAZNAS pada tahun 2018, angkanya baru mencapai 8,1 Trilyun atau berada di kisaran 4% dari potensi zakat di Indonesia (217 Triliun). Dengan merujuk pada data penghimpunan dan perhitungan potensi zakat di Indonesia tersebut, artinya ada sekitar 96% dana zakat yang dibayarkan melalui selain BAZNAS (termasuk UPZ) dan LAZNAS (termasuk MPZ). Masih sangat banyak pembayaran zakat yang melalui lembaga zakat tidak terdaftar dan langsung dibayarkan kepada mustahik (tempat membayar zakat No.5 dan No.6 di atas). Ini artinya, sangat besar jumlah pembayaran zakat yang tidak tercatat dalam data zakat nasional. Bagaimana caranya meningkatkan jumlah penghimpunan zakat nasional (dan tercatat) ?
Untuk meningkatkan angka penghimpunan zakat nasional, kita harus menjawab beberapa tantangan yang ada. Urutan prioritas tantangan yang harus ditangani agar permasalahan penghimpunan zakat di Indonesia bisa diatasi adalah :
1.       Tantangan Ketaatan Membayar Zakat
Sampai dengan saat ini, berapa persen umat Islam di Indonesia yang memiliki penghasilan/harta mencapai nishab dan secara rutin mengeluarkan zakatnya. Kita memperkirakan minimal 90% umat Islam di Indonesia sudah membayarkan zakatnya secara rutin. Sosialisasi dan edukasi  kesadaran wajib zakat masih diperlukan. Sosialisasi dan edukasi jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya juga masih diperlukan, meskipun proporsi orang Islam yang belum menunaikan kewajibannya berzakat sudah mengecil.
2.       Tantangan Membayar Zakat Formal
Setelah kewajiban membayarkan zakat dipenuhi, tantangan berikutnya yang harus ditangani adalah bagaimana membimbing dan mengarahkan umat agar membayarkan zakat melalui organisasi pengelola zakat yang resmi. Organisasi pengelola zakat yang resmi adalah organisasi pengelola zakat yang telah mendapat izin dari pemerintah karena telah memenuhi serangkaian persyaratan tertentu dan bersedia mengelola zakat dengan pedoman atau ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Organisasi pengelola zakat yang resmi artinya pengelolaan zakatnya telah sesuai dengan standar pengelolaan zakat yang baik, sebagaimana diatur oleh Undang-undang dan ketentuan lain yang ditetapkan pemerintah. Organisasi pengelola zakat yang resmi juga telah memiliki mekanisme pelaporan kinerja secara periodik, sehingga data laporannya dapat dikonsolidasikan sebagai data nasional.
3.       Tantangan Konsolidasi Data Semua Titik Pembayaran Zakat
Tantangan selanjutnya yang harus dijawab adalah bagaimana mengarahkan umat agar membayarkan zakat ke titik-titik pembayaran zakat yang datanya terkonsolidasi secara nasional. Pada saat yang sama, kita juga perlu menyiapkan dan melengkapi semua titik pembayaran zakat dengan alat, platform atau aplikasi yang memungkinkan semua pembayaran dan penyaluran zakat, datanya terkonsolidasi secara nasional. Untuk semua pengelola zakat yang belum resmi dan datanya terhubung secara nasional, secara bertahap juga diarahkan menjadi lembaga pengelola zakat resmi (baik sebagai BAZNAS dan UPZ, atau sebagai LAZ dan MPZ).
(Bersambung)

*) Ahmad Juwaini adalah Direktur Komite Nasional Keuangan Syariah