Amil zakat (pengelola zakat) adalah profesi yang sungguh menyenangkan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Amil itu tidak mengenal susah. Waktu masih menganggur, ia berhak mendapatkan dana zakat, karena tergolong fakir miskin. Saat bekerja, ia mendapatkan dana zakat dari hak Amil dan kalau terjadi PHK, kemudian menjadi penganggur, maka ia berhak lagi dapat dana zakat, karena menjadi fakir miskin kembali.
Tetapi menjadi Amil zakat juga sebuah beban. Kalau kelihatan sedikit saja mulai sejahtera, maka Sang Amil akan menjadi “tertuduh”. Bahwa di tengah kemiskinan yang masif di Indonesia, seorang Amil sangat tidak pantas terlihat hidup nyaman. Bahkan banyak masyarakat mengharapkan agar Amil senantiasa hidup prihatin. Kondisi ini selalu menjadi dilema bagi semua Amil.
Standar yang digunakan oleh semua Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), untuk membiayai kesejahteraan amil adalah alokasi ashnaf (hak amil) dari harta zakat. Beberapa ahli Fikih zakat menyebutkan bahwa hak amil atas harta zakat adalah 1/8 atau 12,5 % dari keseluruhan total dana yang berhasil dikumpulkan. Tentu saja ada OPZ yang berpandangan bahwa besarnya alokasi untuk Amil tidak harus 12,5 %, karena dasar 12,5 % bukanlah bersandar kepada ayat Al-Quran dan Al-Hadits, akan tetapi hanya ijtihad para ulama.
Bagi sebagian kalangan amil yang berpandangan bahwa merujuk 12,5 % sebagai satu-satunya acuan, maka bagaimanapun kondisi amil atau OPZ, maka 12,5 % harus tetap menjadi dasar pemenuhan kesejahteraan amil. Apabila hal ini dilaksanakan, maka Sang Amil mungkin bisa hidup menderita, karena pada banyak OPZ yang hanya mampu mengumpulkan dana kurang dari 10 juta per bulan, maka 12,5 % untuk menyejahterakan amil, tentu jauh panggang dari api. Apalagi pada OPZ yang baru dirintis atau didirikan, tentulah 12,5 % adalah sebuah angka yang sangat tidak memadai.
Kemungkinan kedua manakala OPZ hanya mengacu kepada dasar 12,5 % untuk kesejahteraan amil adalah amil akan berfoya-foya. Pada beberapa OPZ yang sudah mampu menghimpun dana zakat yang besar dari masyarakat, sementara jumlah amilnya tidak banyak, maka dengan 12,5%, kesejahteraan amilnya akan sangat berlebih. Tentu saja pada akhirnya batas alokasi hak amil 12,5% ini harus diteropong dalam kelayakan, kecukupan dan kewajaran.
Banyak OPZ yang hanya mampu memberikan kesejahteraan kepada amilnya sangat minimalis. Pada kondisi ini banyak amil yang bekerja setengah hati. Bekerja menjadi amil dilakukan sambil menyambi dengan melakukan kegiatan lain dalam rangka mencukupi kehidupan rumah tangga amil. Pada kondisi ini, tidak ada sedikit pun kebanggaan menjadi amil zakat. Bahkan kadang-kadang untuk meningkatkan kesejahteraan, para amil ini berlaku “curang” dengan memanfaatkan alokasi tujuh ashnaf yang lain, baik secara terbuka, maupun dengan cara sembunyi-bunyi.
Tidak sedikit OPZ yang sudah mampu memberikan kesejahteraan memadai kepada amilnya. Penghasilan para amil ini tidak kalah dengan penghasilan pegawai negeri atau beberapa perusahaan swasta. Kesejahteraan yang cukup ini tentu menggembirakan dan membanggakan dunia zakat. Karena hal ini telah membuktikan bahwa profesi amil zakat bukanlah profesi marjinal lagi. Menjadi amil zakat kini bisa menjadi profesi sebagai titik pijak untuk meraih kenyamanan dalam hidup.
Akan tetapi tingkat kesejahteraan memadai yang diperoleh amil haruslah dibarengi dengan sikap kesederhanaan dan rendah hati. Tanpa itu, maka amil zakat akan menjadi angkuh, konsumtif dan demonstratif. Amil zakat seperti ini akan kehilangan makna kepedulian kepada masyarakat miskin yang ada di sekitarnya. Sangatlah mulia apabila amil zakat hidup selalu mawas diri. Meskipun dia mendapatkan penghasilan cukup, akan tetapi ia senantiasa hidup sederhana dan lebih banyak memberikan manfaat dengan membantu kesulitan orang lain.
(Ikuti Polling Kesejahteraan amil di www.amilzakat.blogspot.com)