05 January, 2007

FORMULASI GAGASAN DAN ASPIRASI ULAMA ACEH

Siapakah Ulama Aceh Itu ?
Begitu banyak masyarakat Aceh yang bertanya-tanya, siapakah ulama Aceh yang dapat dirujuk saat ini ? Lembaga atau institusi mana sekarang ini yang dianggap merepresentasikan ulama yang disegani masyarakat Aceh ? Pertanyaan inipun sesungguhnya menggelayuti benak sebagian orang dari luar Aceh yang kini ikut terlibat dalam berbagai kegiatan di Aceh.

Pertanyaan ini semakin relevan ketika dihadapkan dengan peristiwa bencana besar Tsunami. Dimana masyarakat Aceh telah didera berbagai problema sosial dan psikologis kebencanaan. Kondisi ini semakin memperparah keadaan masyarakat Aceh setelah mengalami masa Daerah Operasi Militer (DOM), Darurat Militer (DM) dan Darurat Sipil (DS). Pasca bencana Tsunami ini masyarakat Aceh memerlukan tokoh panutan untuk bangkit.

Bahkan ketika menyadari bahwa rekonstruksi Aceh hanya dimungkinkan apabila melibatkan aspirasi dan partispasi masyarakat lokal yang seluas-luasnya, maka keperluan untuk segera mendengar arus utama aspirasi masyarakat Aceh, menjadi tak terhindarkan. Masalahnya kemudian adalah : Siapakah atau lembaga apakah yang paling representatif untuk mewakili aspirasi masyarakat Aceh ? Ketika kemudian jawabannya adalah Ulama Aceh, maka pertanyaan lanjutannya adalah : Siapakah atau lembaga manakah yang paling tepat untuk mewakili ulama Aceh ?

Mencari individu tokoh atau lembaga paling pas untuk mewakili ulama Aceh saat ini mungkin lebih menyulitkan. Daripada kita terus berdiskursus untuk siapa dan lembaga apa, yang mungkin tidak mudah menjawabnya, maka yang lebih penting adalah kita menjawab bagaimana dan seperti apa gagasan aspirasi ulama Aceh tentang Aceh sekarang dan masa depan.

Wadah Kepemimpinan Ulama Aceh
Skenario pertama yang mungkin dilakukan adalah menyatukan berbagai lembaga-lembaga yang mewakili ulama Aceh. Setiap lembaga ulama yang ada baik formal dan Informal harus diajak turut serta dan bergabung dalam wadah kepemimpinnan ulama Aceh. Disini dapat diwujudkan sebuah wadah kolektif bersifat strategis kordinatif untuk mewadahi ulama Aceh. Unsur-unsur yang dapat diajak terlibat adalah berbagai institusi ulama Aceh, misalnya adalah MPU, HUDA, Rabitah Thaliban, FORKADA dan lain sebagainya. Bisa saja salah satu lembaga tersebut menjadi payung organisasi sebagai induknya.

Wadah ini sekaligus menjadi representasi dari aspirasi dan gagasan ulama Aceh. Keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh wadah kolektif ulama Aceh ini harus menjadi panduan dalam kehidupan masyarakat Aceh, khususnya dalam memandu pelaksanaan ajaran Islam. Keberadaan ulama yang bergabung dalam wadah kepemimpinan ulama ini harus mengakar sampai ke satuan organisasi masyarakat terendah di tingkat desa.
Setiap jaringan atau lembaga ulama Aceh terhubung dengan satuan organisasi komunitas terendah di Aceh yaitu Meunasah dan Dayah. Meunasah dan Dayah Harus dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat Aceh. Sementara tempat dan fasilitas umum lainnya dijadikan sebagai sarana pendukung. Melalui Meunasah dan Dayah setiap ulama Aceh memiliki jalur komunikasi dan interaksi dengan masyarakat Aceh sampai ke tingkat desa.

Melalu wadah kepemimpinan ulama ini, maka siapapun dapat mengetahui aspirasi dan gagasan ulama Aceh. Apapun yang disuarakan oleh wadah kepemimpinan ulama ini, maka telah merepresentasikan aspirasi ulama Aceh yang lebih otentik. Tinggal masalahnya bersediakah atau mungkinkah ulama Aceh mewujudkannya ?

Formulasi Gagasan dan Aspirasi Ulama Aceh
Skenario kedua yang mungkin dilakukan adalah membuat sebuah forum pertemuan, dimana sebanyak mungkin ulama dan organisasi ulama Aceh diundang untuk membicarakan mengenai gagasan rekonstruksi masyarakat Aceh pasca Tsunami. Forum ini harus betul-betul mengundang unsur ulama Aceh secara keseluruhan.

Di dalam foum tersebut dibicarakan berbagai masalah seputar : masalah-masalah utama Aceh saat ini dan masa depan, potensi-potensi (sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi) yang dimiliki oleh Aceh, tujuan dan arah rekonstruksi Aceh, peran masing-masing organisasi (ulama, pemerintah dan masyarakat) serta model-model monitoring dan evaluasi untuk mengukur perkembangan masyarakat Aceh. Tentu saja semua masalah yang dibahas haruslah yang relevan dengan fungsi dan peran ulama yang harus dimainkannya.

Akan lebih baik kalau inisiator dari forum pertemuan ini adalah organisasi ulama Aceh itu sendiri. Sementara pihak-pihak dari luar Aceh menjadi fasilitator dan pendukung dari berlangsungnya pertemuan tersebut. Sehingga semua hal yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut serta orientasi keberhasilan pertemuan berpangkal kepada keperluan dan keinginan ulama Aceh itu sendiri.

Setelah dicapai kesepakatan hasil-hasil pertemuan, maka selayaknya apabila semua peserta mewakili lembaganya masing-masing menandatangani hasil kesepakatan pertemuan tersebut. Untuk selanjutnya hasil kesepakatan tersebut dijadikan sebagai platform bersama gagasan dan aspirasi ulama Aceh dalam melakukan rekonstruksi Aceh. Hasil kesepakatan itu juga harus disosialisasikan kepada berbagai pihak sehingga dapat diketahui dan dijadikan rujukan.

Terpulang kembali kepada ulama Aceh akhirnya, apakah masalah ini akan dijadikan sebagai jalan untuk berlomba-lomba dalam kebajikan atau akan dibiarkan sebagai masalah bersama tanpa ada solusi dan perbaikan, karena semua orang tidak merasa terlibat dan tidak merasa perlu. Wallahu A’lam !

*) Ahmad Juwaini adalah Kordinator Program Pemulihan Aceh Dompet Dhuafa Republika Makalah ini disampaikan dalam sarasehan membangun kembali Aceh Pasca Tsunami oleh ormas-ormas Islam, April 2005

No comments: