Kembali
ke desa dan membangun desa adalah salah satu tugas mulia bagi para perantau.
Kembali ke desa seringkali menjadi panggilan bagi insan yang sudah lama hidup
di kota. Panggilan itu semakin terasa ketika menyadari betapa kampung halamannya
banyak tertinggal atau punya permasalahan mendasar. Hal yang sama pernah
terjadi pada Adib Zuhairi.
Adib
Zuhairi adalah pemuda asal Desa Tumang, Cepogo, Boyolali Jawa Tengah yang sudah
bekerja di Jakarta. Tahun 1997, Adib sudah bekerja di perusahaan yang cukup
mapan dengan penghasilan yang memadai. Namun hatinya seringkali gelisah
memikirkan kondisi di kampung halamannya.
Desa Tumang
adalah sentra pengrajin tembaga. Kendati menjadi sentra pengrajin tembaga,
Kondisi warga Desa Tumang stagnan selama beberapa dekade. Permodalan sebagai
salah satu faktor penggerak, seringkali sulit mereka akses. Lembaga perbankan
yang ada kala itu enggan percaya kepada pengrajin di desa Tumang. Mereka
dianggap tak mampu menerima pembiayaan dari perbankan.
Minimnya
kepercayaan bank kepada warga Tumang pada saat itu, membuat mereka akhirnya
menggantungkan modal pada rentenir. Bukannya menjadi penolong, seringkali rentenir
akhirnya menjerat para pengrajin. Jangankan untung, pendapatan usaha, ludes
untuk menutup cicilan kepada rentenir. Keadaan ini membuat usaha para pengrajin
menjadi semakin terpuruk.
Pada
bulan Februari 1997, bertempat di rumah Soeryanto, di Kebayoran Baru, Jakarta
Selatang, berkumpul generasi muda Desa Tumang yang bekerja di Jakarta, antara
lain Mukhlas, Aris Munandar, Yunas, Mulyadi
dan Adib. Setelah mendiskusikan permasalahan yang ada di kampung halaman
mereka, mereka bersepakat membentuk BMT Tumang sebagai solusi.
Akan
tetapi, saat harus mencari orang untuk mengelola BMT Tumang, mereka menemui
persoalan. Ada orang yang bersedia, tapi tidak mempunyai kemampuan. Ada pihak
yang mempunyai kemampuan, tapi tak bersedia menjadi pengelola. Menurut Adib,
ini menjadi hambatan pokok. Kurang lebih satu tahun, rencana tersebut mandek,
alias tak mengalami perkembangan.
Pertengahan
Juni 1998, para perintis BMT Tumang pulang kampung dalam rangka Lebaran. Ada
pertemuan lanjutan, sekaligus reuni para perantau di kampung. Dari pertemuan
itu ada tambahan personil, seperti Munir Asrori, Edi Darmasto, serta Sismanto.
Mereka membicarakan lagi rencana pendirian BMT Tumang yang digagas setahun
sebelumnya.
Dalam
pertemuan itu, setelah didaulat, akhirnya Adib pun menerima mandat mengelola BMT
Tumang. Ia dipertemukan dengan Rifa’i Saleh Haryono, dari Kabupaten Klaten yang
memiliki pengalaman mengelola sejumlah BMT. Rifa’i mendorong Adib untuk tidak
kembali ke Jakarta dan diminta fokus mengelola lembaga ekonomi mikro tersebut.
Tekad
Adib menggebu ingin membuktikan semua dorongan semangat memperbaiki keadaan. Ia
bekerja keras bak ‘bakul jamu’, berkeliling dari rumah ke rumah, juga menyisir tokoh
agama dan tokoh masyarakat. Ia tiada henti melakukan sosialisasi, seperti para sales menawarkan dagangan. Aktivitas ini
dilakukan sekitar Juli 1998.
Pada
waktu bersamaan, saat itu ada program P3T (Proyek Penanggulangan Pengangguran
Tenaga Terampil) dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)
Kabupaten Boyolali. Direktur PINBUK Kabupaten Boyolali mendorong agar Adib,
Agus Wiratmo, Haris Darmawan, Joko Sriyanto, Yuni Widiyati, mendaftarkan diri.
Alhamdulillah,
kelima orang tersebut diterima untuk mengikuti pelatihan BMT se-Jawa Tengah di
Asrama Haji Donohudan, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali. Kelimanya,
memperoleh “gaji” Rp 300 ribu selama tujuh bulan. Setelah tujuh bulan selesai,
mereka tak menerima gaji lagi dari P3T melainkan langsung bekerja di BMT yang
hanya mampu memberi honor Rp 40 ribu per bulan.
Tepat
1 Agustus 1998, diadakan pertemuan lanjutan di rumah Ali Sya’ni, bersama para tokoh
setempat yang dianggap sukses secara ekonomi. Para “aghniya” ini diajak untuk
mendukung pendirian BMT Tumang. Mereka
selanjutnya mendukung pendirian BMT dengan memberi iuran Rp 500 ribu. Hingga
terkumpul simpanan pokok Rp 7.500.000. Uang Rp 7,5 juta inilah yang menjadi
modal awal pendirian BMT Tumang.
Waktu
terus berlalu. BMT Tumang telah berkembang. Dari merangkak, tertatih-tatih,
berjalan dan berlari. Tidak sedikit terjatuh dan nyaris melemahkan semangat dan
ingin berhenti. Namun dorongan untuk menolong masyarakat, serta keinginan
mengembangkan ekonomi syariah, selalu memanggil Adib beserta rekan-reknnya
untuk kembali dan bangkit guna bekerja dan mengembangkan BMT Tumang.
Kini,
22 tahun telah berlalu sejak awal pendirian. Pada bulan Maret 2020, Kantor
cabang KSPPS BMT Tumang telah mencapai 24 kantor cabang yang tersebar di
Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah aset
yang saat pendirian hanya sebesar 7,5 juta, saat ini sudah lebih dari 230 Miliar.
Adapun nasabah yang pada waktu pendirian hanya beberapa orang, kini nasabah yang
dilayani oleh BMT Tumang sudah lebih dari 20.000. Pada tahun 2017, KSPPS BMT
Tumang telah mendapatkan penghargaan sebagai 100 Koperasi Besar Indonesia.
Hari Sabtu, 25 Juli 2020, pukul
20.45, Adib Zuhairi menghembuskan nafasnya yang terakhir di RS Moewardi Solo. Setelah
kembali ke kampung halaman untuk berjuang mendirikan dan mengembangkan BMT, Adib
Zuhairi akhirnya, harus kembali ke kampung abadi, yaitu ke akhirat. Semoga
Allah memberikan tempat di surga atas segala dedikasi dan perjuangannya dalam
mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah.
No comments:
Post a Comment