31 July, 2020

Kembali Ke Kampung Halaman, Kembali Ke Kampung Abadi (In Memoriam Adib Zuhairi)

Kembali ke desa dan membangun desa adalah salah satu tugas mulia bagi para perantau. Kembali ke desa seringkali menjadi panggilan bagi insan yang sudah lama hidup di kota. Panggilan itu semakin terasa ketika menyadari betapa kampung halamannya banyak tertinggal atau punya permasalahan mendasar. Hal yang sama pernah terjadi pada Adib Zuhairi.

 

Adib Zuhairi adalah pemuda asal Desa Tumang, Cepogo, Boyolali Jawa Tengah yang sudah bekerja di Jakarta. Tahun 1997, Adib sudah bekerja di perusahaan yang cukup mapan dengan penghasilan yang memadai. Namun hatinya seringkali gelisah memikirkan kondisi di kampung halamannya.

Desa Tumang adalah sentra pengrajin tembaga. Kendati menjadi sentra pengrajin tembaga, Kondisi warga Desa Tumang stagnan selama beberapa dekade. Permodalan sebagai salah satu faktor penggerak, seringkali sulit mereka akses. Lembaga perbankan yang ada kala itu enggan percaya kepada pengrajin di desa Tumang. Mereka dianggap tak mampu menerima pembiayaan dari perbankan.

Minimnya kepercayaan bank kepada warga Tumang pada saat itu, membuat mereka akhirnya menggantungkan modal pada rentenir. Bukannya menjadi penolong, seringkali rentenir akhirnya menjerat para pengrajin. Jangankan untung, pendapatan usaha, ludes untuk menutup cicilan kepada rentenir. Keadaan ini membuat usaha para pengrajin menjadi semakin terpuruk.

Pada bulan Februari 1997, bertempat di rumah Soeryanto, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatang, berkumpul generasi muda Desa Tumang yang bekerja di Jakarta, antara lain Mukhlas, Aris Munandar, Yunas, Mulyadi  dan Adib. Setelah mendiskusikan permasalahan yang ada di kampung halaman mereka, mereka bersepakat membentuk BMT Tumang sebagai solusi.

Akan tetapi, saat harus mencari orang untuk mengelola BMT Tumang, mereka menemui persoalan. Ada orang yang bersedia, tapi tidak mempunyai kemampuan. Ada pihak yang mempunyai kemampuan, tapi tak bersedia menjadi pengelola. Menurut Adib, ini menjadi hambatan pokok. Kurang lebih satu tahun, rencana tersebut mandek, alias tak mengalami perkembangan.

Pertengahan Juni 1998, para perintis BMT Tumang pulang kampung dalam rangka Lebaran. Ada pertemuan lanjutan, sekaligus reuni para perantau di kampung. Dari pertemuan itu ada tambahan personil, seperti Munir Asrori, Edi Darmasto, serta Sismanto. Mereka membicarakan lagi rencana pendirian BMT Tumang yang digagas setahun sebelumnya.

Dalam pertemuan itu, setelah didaulat, akhirnya Adib pun menerima mandat mengelola BMT Tumang. Ia dipertemukan dengan Rifa’i Saleh Haryono, dari Kabupaten Klaten yang memiliki pengalaman mengelola sejumlah BMT. Rifa’i mendorong Adib untuk tidak kembali ke Jakarta dan diminta fokus mengelola lembaga ekonomi mikro tersebut.

Tekad Adib menggebu ingin membuktikan semua dorongan semangat memperbaiki keadaan. Ia bekerja keras bak ‘bakul jamu’, berkeliling dari rumah ke rumah, juga menyisir tokoh agama dan tokoh masyarakat. Ia tiada henti melakukan sosialisasi, seperti para sales menawarkan dagangan. Aktivitas ini dilakukan sekitar Juli 1998.

Pada waktu bersamaan, saat itu ada program P3T (Proyek Penanggulangan Pengangguran Tenaga Terampil) dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Boyolali. Direktur PINBUK Kabupaten Boyolali mendorong agar Adib, Agus Wiratmo, Haris Darmawan, Joko Sriyanto, Yuni Widiyati, mendaftarkan diri.

Alhamdulillah, kelima orang tersebut diterima untuk mengikuti pelatihan BMT se-Jawa Tengah di Asrama Haji Donohudan, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali. Kelimanya, memperoleh “gaji” Rp 300 ribu selama tujuh bulan. Setelah tujuh bulan selesai, mereka tak menerima gaji lagi dari P3T melainkan langsung bekerja di BMT yang hanya mampu memberi honor Rp 40 ribu per bulan.

Tepat 1 Agustus 1998, diadakan pertemuan lanjutan di rumah Ali Sya’ni, bersama para tokoh setempat yang dianggap sukses secara ekonomi. Para “aghniya” ini diajak untuk mendukung pendirian BMT Tumang.  Mereka selanjutnya mendukung pendirian BMT dengan memberi iuran Rp 500 ribu. Hingga terkumpul simpanan pokok Rp 7.500.000. Uang Rp 7,5 juta inilah yang menjadi modal awal pendirian BMT Tumang.

Waktu terus berlalu. BMT Tumang telah berkembang. Dari merangkak, tertatih-tatih, berjalan dan berlari. Tidak sedikit terjatuh dan nyaris melemahkan semangat dan ingin berhenti. Namun dorongan untuk menolong masyarakat, serta keinginan mengembangkan ekonomi syariah, selalu memanggil Adib beserta rekan-reknnya untuk kembali dan bangkit guna bekerja dan mengembangkan BMT Tumang.

Kini, 22 tahun telah berlalu sejak awal pendirian. Pada bulan Maret 2020, Kantor cabang KSPPS BMT Tumang telah mencapai 24 kantor cabang yang tersebar di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah aset yang saat pendirian hanya sebesar 7,5 juta, saat ini sudah lebih dari 230 Miliar. Adapun nasabah yang pada waktu pendirian hanya beberapa orang, kini nasabah yang dilayani oleh BMT Tumang sudah lebih dari 20.000. Pada tahun 2017, KSPPS BMT Tumang telah mendapatkan penghargaan sebagai 100 Koperasi Besar Indonesia.

Hari Sabtu, 25 Juli 2020, pukul 20.45, Adib Zuhairi menghembuskan nafasnya yang terakhir di RS Moewardi Solo. Setelah kembali ke kampung halaman untuk berjuang mendirikan dan mengembangkan BMT, Adib Zuhairi akhirnya, harus kembali ke kampung abadi, yaitu ke akhirat. Semoga Allah memberikan tempat di surga atas segala dedikasi dan perjuangannya dalam mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah.

 


 


No comments: