14 October, 2009

Penjual Ginjal dan Harapan Bebas Derita

Bentangan derita yang dialami masyarakat Indonesia begitu meluas. Saat ribuan para pengungsi gempa di Jawa Barat masih menghuni tenda-tenda darurat, terjadi lagi gempa di Sumatera Barat dan Jambi. Gempa di Suma tera Barat yang begitu keras mengguncang dengan kekuatan 7,6 SR, membuat dampak yang lebih memprihatinkan. Diduga lebih dari seribu orang meninggal, ribuan orang mengalami luka dan ribuan bangunan serta rumah hancur. Rangkaian terjadinya gem pa ini terus memperpanjang daftar korban dan para pengungsi sebagai akibat bencana.

Pada saat yang sama, masyarakat In donesia juga belum sepenuhnya terbebas dari himpitan kemiskinan. Angka pengangguran yang masih tinggi, rendahnya pendapatan dan kenaikan harga yang terus terjadi atas berbagai barang konsumsi juga telah menim bulkan tekanan hidup yang sedemikian hebat bagi sebagian orang yang menghuni bumi Indonesia ini. Perilaku curang sebagian orang yang ingin segera memperkaya diri dengan mengeksploitasi kesulitan ekonomi orang lain, juga turut memperburuk kehidupan sebagian masyarakat kita. Pola hidup konsumtif dan gaya hidup materialis yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang cukup telah menjatuhkan sebagian masyarakat menengah bawah ke dalam lembah kesengsaraan ekonomi.

Belenggu kemiskinan telah menjadi monster mengerikan yang menghantui kehidupan sebagian orang. Tidak sedikit masyarakat yang karena kemiskinan mengambil jalan pintas yang sangat meng khawatirkan, bahkan kadang ada yang akhirnya terjerumus melakukan tindakan kriminal. Bagi sebagian orang yang sudah lama merasakan betapa menderita hidup dalam kemiskinan, kadang dirasakan kehidupan ini telah menjadi jalan gelap yang seolah tak ada jalan keluar.

Perasaan seperti ini pernah terjadi pada Arman Herman, seorang Bapak yang melalui media televisi pernah menawarkan ginjalnya untuk dijual dalam rangka menghidupi keluarganya. Pak Arman (32 tahun) yang berasal dari Rangkas Bitung, Banten ini sebelumnya bekerja sebagai operator forklift di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pembuatan gypsum. Pak Arman berpendidikan SLTA, sudah menikah dan mempunyai anak satu orang. Di Perusahaan ini Pak Arman gajinya dibayar harian yaitu sebesar Rp 22.500,- per hari. Jika ada pekerjaan lembur, maka ia dapat tambahan Rp 4.000,- per jam.

Pada akhir Juni 2009 pekerjaanya sebagai operator forklift di putus kontrak, guna memperbaiki kehidupannya, Pak Arman memutuskan untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Bekal yang dibawanya, sebuah tas ransel berisi beberapa berkas seperti foto copy ijazah, foto copy sertifikat dan beberapa lembar kertas folio bergaris untuk menulis lamaran. Oleh mertuanya, ia dibekali uang Rp 250.000,- . Adik iparnya juga meminjaminya satu unit handphone yang masih berfungsi.

Selama empat hari berkelana di Jakarta, ia tinggal sementara di masjid Istiqlal. Ketika ia shalat Maghrib di masjid itu, tas yang berisi bekal dan berbagai berkas lenyap dicuri orang saat diletakkan di pinggir tembok. Semua berkas, termasuk dompet berisi uang yang ditaruhnya di dalam tas, hilang tanpa bekas. Sejak itu, ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Untuk mendapatkan makanan setiap hari, ia menawarkan diri untuk menjadi pencuci piring di warung-warung di pinggir jalan. Harapannya, ia mendapatkan sepiring nasi dan sedikit lauk pauk untuk mengisi perutnya.

Memasuki awal Ramadhan 1430 H lalu, ia pindah pangkalan di masjid Bank Indonesia di kawasan Tanah Abang Jakarta Pusat. Ketika ia sedang berzikir usai shalat, seseorang berjubah putih memberinya uang Rp 50.000,- Uang itu digunakan untuk menelepon keluarganya, yang selama lebih dari 3 bulan tidak ada kabar beritanya.

Dari hubungan telepon itu, ia mengetahui bahwa anaknya sakit. Mendengar anaknya sakit, terpikir olehnya, bagaimana mendapatkan sejumlah uang secara cepat, tidak hanya untuk mengobati anaknya, tetapi juga untuk membantu kesejahteraan anak dan keluarganya. Ia pun rajin membaca-baca koran, majalah, dan beberapa buku, sampai akhirnya terpikir untuk menjual satu ginjalnya. Dari bacaannya, ia mengetahui bahwa harga satu ginjal mencapai ratusan juta Rupiah, dan banyak orang bisa hidup normal hanya dengan satu ginjal.

Mulai tanggal 20 Ramadhan 1430 H, ia pindah pangkalan lagi ke Masjid Cut Meutia di kawasan Menteng Jakarta. Di Masjid Cut Meutia ini, pada suatu pagi, ia melihat mobil-mobil dari beberapa stasiun televisi parkir di halaman mesjid. Rupanya ada liputan pers di masjid itu. Di tempat itu, ia juga menemukan selembar kertas dan sebuah pulpen. Ia pun menuliskan keinginannya untuk menjual ginjalnya di kertas itu. Ia juga menuliskan nama dan alamatnya di kertas itu. Bukan alamat rumah yang ia tuliskan, tetapi alamat masjid Cut Meutia. Dimasukkannya kertas itu pada sebuah amplop. Untuk selanjutnya amplop tersebut diserahkan kepada pengemudi mobil dari salah satu stasiun televisi.

Sang pengemudi akhirnya menyerahkan surat itu kepada produser acara dari stasiun televisi itu. Sang produser pun menemuinya, dan bertanya tentang banyak hal, seputar perjalanan hidupnya. Atas perintah sang produser, pengemudi mobil kemudian menjemputnya di masjid Cut Meutia untuk menjadi tamu pada sebuah acara di salah satu stasiun televisi. Melalui acara di televisi ini, Pak Arman mengungkapan keinginannnya untuk menjual ginjalnya.

Saat hadir di acara tersebut Pak Arman bertemu dengan Rektor Institut Kemandirian Dompet Dhuafa (DD), yaitu Bapak Zainal Abidin. Atas nasehat dan saran dari Pak Zainal, Pak Arman akhirnya bersedia untuk mengikuti pelatihan dan magang usaha mengelola toko handphone. Selama pelatihan, keperluan hidup Pak Arman dibantu dari sumbangan donatur yang masuk melalui acara televisi yang diikutinya. Selepas pelatihan dan magang ini, Pak Arman bertekad menjadi peng usaha handphone dibantu Institut Keman dirian DD.

Fakta kisah Pak Arman di atas menunjukkan bahwa meskipun beratnya hidup ini dijalani, tetapi kita tidak boleh kehilangan harapan. Kemiskinan yang membelenggu kita, tidak boleh membuat kita berputus asa dan melakukan tindakan kriminal. Melalui pertemuannya dengan Pak Zainal, Pak Arman pun akhirnya disadarkan bahwa uang bukanlah segala-galanya dalam hidup ini. Uang bukanlah jaminan kebahagian satu-satunya bagi keluarga, akan tetapi bekerja keras, berusaha sendiri, tidak kenal menyerah dan bertawakal kepada Allah lah yang mampu menjaga kita dari keterpuruk -an kemiskinan. Rama Zirasa/ZA/ADV

No comments: