07 March, 2009

Menimbang Sentralisasi Zakat

Jika menilik sejarah perkembangan zakat di Indonesia, kita dapat melihat masyarakat muslim Indonesia menunaikan zakatnya secara individu dan tradisional. Mereka menyalurkan secara langsung kepada mustahik, kyai, ajengan, masjid dan pesantren. Kemudian keluar SKB Menteri Agama dan Mendagri yang mengatur mengenai pengelolaan zakat di Indonesia. Maka berdasarkan SK Gubernur DKI pada 1968, untuk pertama kalinya berdiri BAZIS DKI. Setelah itu, menyusul pendirian BAZIS di berbagai provinsi lainnya. Mulailah, masyarakat melalui berbagai organisasi keagamaan ikut terlibat mengelola zakat secara terorganisasi.

Pada 1993, Harian Umum Republika membentuk yayasan Dompet Dhuafa Republika (DD). Kemudian terus mengalami perkembangan dan dukungan masyarakat secara luas. DD, lantas menjadi Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk pertama kalinya di Indonesia. Langkah ini pun mendorong tumbuhnya LAZ baru di Indonesia yang berusaha mengelola zakat secara amanah dan professional.

Pada 1999, lahir UU No. 38 tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat yang didalamnya menyebutkan, bahwa pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat.

Setelah hampir sepuluh tahun, undang-undang itu berlaku, ada keinginan kuat dari sebagian kalangan untuk melakukan revisi atas UU tersebut. Beberapa landasan yang mendasari keinginan merevisi UU itu diantaranya adalah: (1) Penerapan sanksi atas muzakki yang ingkar membayar zakat, (2) Pelaksanaan zakat sebagai pengurang pajak dan (3) Melakukan sentralisasi pengelolaan zakat oleh BAZ yang memiliki cabang dari pusat sampai tingkat kelurahan/desa.

Dari tiga hal yang mendasari revisi UU No. 38/1999 itu, masalah sentralisasi zakat adalah yang paling banyak menimbulkan pro dan kontra, terutama di kalangan LAZ. Hal ini dapat dimaklumi, karena dalam gagasan sentralisasi zakat ini terkandung muatan untuk mengintegrasikan LAZ ke dalam BAZ dan mengubah LAZ menjadi UPZ (unit Pengumpul Zakat).

Aspek Syariah
Berdasarkan sumber-sumber ajaran Islam otentik, yakni Al-Qur’an dan Sunnah, serta praktek kehidupan para sahabat dan penerus risalah Islam di masa lalu, Zakat adalah kewajiban Fardhiah bagi setiap muslim yang telah memenuhi persyaratan tertentu. Zakat juga diperintahkan untuk “diambil” dari orang-orang kaya dan diancam sanksi, bila kaum kaya menolak untuk memenuhinya. Para Ulama salaf telah sepakat, bahwa zakat adalah Obligatory System dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa zakat adalah domain negara, yaitu bahwa zakat adalah diurus atau diatur oleh negara.

Namun, para ulama juga berpendapat bahwa dalam pelaksanaanya, negara dapat mengelola langsung sendiri atau menunjuk (memberikan mandat) kepada badan, organisasi atau sekelompok orang di dalam negara tersebut untuk melaksanakan tugas pengurusan zakat. Pengangkatan petugas pengurusan zakat ini, tentu saja ditata oleh suatu pengaturan dan sewaktu-waktu dapat dicabut apabila sudah tidak memenuhi persyaratan atau menyimpang dari amanah yang diembannya.

Dalam kerangka ini, tidak relevan lagi jika ada perdebatan apakah keberadaan LAZ itu sesuai syariah atau tidak. Karena LAZ di Indonesia dikukuhkan dan diakreditasi oleh pemerintah. Jadi sesungguhnya keberadaan LAZ saat ini adalah atas mandat atau penunjukkan oleh negara. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 38/1999 yang menyebutkan :

“Lembaga Amil Zakat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah.” (pasal 7 ayat 1)

“Dalam melaksanakan tugasnya, BAZ dan LAZ bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai tingkatannya” (pasal. 9)

Tentu saja, selain LAZ yang sudah legal (dikukuhkan) oleh pemerintah masih ada LAZ yang belum mendapatkan pengukuhan dari pemerintah, dalam konteks ini, maka LAZ yang belum dikukuhkan itu dapat dipandang sebagai LAZ yang “masih liar”. Di sinilah perlunya pembinaan dan pengawasan sehingga tidak muncul LAZ-LAZ yang tidak memenuhi persyaratan legal.

Aspek Manajemen
Di Indonesia, memang masih menghadapi serangkaian masalah dalam mencapai idealita penataan zakat di Indonesia. Pertumbuhan LAZ yang menjamur, jika tidak ditata dengan baik tentu saja memiliki potensi masalah. Ada sebagian LAZ yang saat ini melakukan pengelolaan zakat tanpa merasa bahwa pengelolaan zakat haruslah memenuhi berbagai persyaratan dan ketentuan, baik dari sisi syariah maupun legal. Mereka pun kadang kala melakukan pengelolaan dengan serampangan, tanpa didukung oleh basis manajemen zakat yang memadai. Hasilnya tentu saja pengelolaan yang tidak perform, yang berujung kekecewaan sebagian masyarakat pembayar zakat.

Adapula LAZ yang kadang sulit diatur. Mereka ini tidak mau dikoordinasikan dan disinergikan. Maunya mengelola zakat sendiri-sendiri. Mereka juga tidak mau melaporkan kegiatannya kepada otoritas pembinaan zakat di Indonesia, yaitu pemerintah. Padahal jelas-jelas ditegaskan bahwa LAZ itu bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai tingkatannya. Untuk mendukung perwujudan pangkalan data (data base) zakat Indonesia saja, mereka ini tidak mau terlibat dan menghindar. Tentu saja LAZ dengan model seperti ini, perlu ditangani untuk perbaikan kondisi zakat di Indonesia.

Pun, BAZ juga punya masalah tersendiri. Misalnya, ada BAZ yang tidak mau melaporkan kegiatannya kepada masyarakat. Jangankan untuk diaudit oleh akuntan publik, untuk mempublikasikan laporan keuangan saja, mereka tidak mau. Ada juga BAZ yang inginnya ongkang-ongkang kaki, terus uang zakat mengalir sendiri ke pundi-pundinya. Menurut mereka, masyarakat harus dipaksa untuk membayar zakat, dengan alasan bahwa zakat adalah kewajiban setiap muslim. Untuk melakukan penggalangan dana aktif dan sedikit bersaing dengan lembaga zakat lain saja tidak siap. Sedikit-sedikit, menyalahkan LAZ sebagai pesaing dalam pengumpulan zakat.

Tentu saja, banyak BAZ yang kinerjanya sangat bagus. Mereka mampu menampilkan kinerja sebagai BAZ yang amanah dan professional. BAZ seperti ini sangat dipercaya oleh para muzakkinya. Sebagaimana juga BAZ, banyak juga LAZ yang telah menunjukkan kinerja amanah dan professional. Dan sebagian LAZ ini, senantiasa bersedia mempertanggung jawabkan kegiatannya kepada pemerintah. Mereka juga senantiasa terbuka dan bersedia untuk dikoordinasikan dan disinergikan dengan Organisasi Pengeloal Zakat (OPZ) lainnya dalam rangka mewujudkan kebersamaan zakat Indonesia.

Karena itu, sangat tidak tepat, jika adanya persoalan manajemen seperti di atas, dijadikan dasar untuk melakukan sentralisasi. Karena sesungguhnya yang terpenting adalah harus ada komitmen, kesungguhan dan keterbukaan yang terus menerus dalam rangka menata zakat Indonesia ini. Bila itu terus dilakukan, maka masalah-masalah manajemen seperti itu, bisa diatasi.

Masalah dan Solusi
Jika kita hendak mengurai, masalah utama apa saja sesungguhnya yang menggayuti perzakatan di Indonesia, maka kita dapat menyebutkan antara lain: (1) masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang jenis harta yang dikenai zakat (objek zakat) (2)masih sangat banyak masyarakat yang belum membayarkan zakat melalui lembaga (3) masih banyak masyarakat yang belum percaya kepada pengelola zakat (4) masih banyak potensi zakat yang belum termobilisasi atau teroptimalkan (5) masih banyak pengelola zakat yang belum menampilkan kinerja yang amanah dan profesional (6) belum efektifnya fungsi regulasi, koordinasi, sinergi dan pengawasan OPZ (7) belum ada standar manajemen OPZ, sebagai panduan pengelolaan sekaligus sebagai acuan pengawasan (8) zakat belum menjadi pengurang pajak, dan (9) zakat belum signifikan dalam membantu masyarakat miskin, sehingga memberi dampak dalam pengentasan kemiskinan.

Seharusnya kita semua, termasuk pemerintah lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan zakat dibandingkan terus menerus memunculkan polemik dan gagasan yang belum bisa dijamin juga akan menyelesaikan persoalan zakat di Indonesia. Pilihan gagasan sentralisasi tidaklah serta merta akan mampu menjawab semua persoalan zakat Indonesia, karena sentralisasi bukanlah obat satu-satunya dalam menyelesaikan persoalan zakat tersebut. Keterkaitan antara masalah perzakatan di Indonesia dengan sentralisasi sebagai solusi hanyalah sebagian kecil saja. Alih-alih menyelesaikan masalah, malah sebaliknya memunculkan masalah baru yang juga memerlukan energi dan konsentrasi yang sangat besar untuk menyelesaikannya.

Seluruh komponen pengelola zakat di Indonesia melalui organisasi asosiasinya, yaitu Forum Zakat (FOZ) telah dengan susah payah menyusun cetak biru zakat Indonesia. Di dalamnya disebutkan tahapan penataan zakat di Indonesia. Bahwa pada masa sekarang ini (periode sampai 2015) adalah tahapan menyiapkan kerangka landasan menuju integrasi zakat nasional. Dimana fokus kita semua saat ini adalah memperbaiki kualitas amil zakat (baik individu perorangan maupun organisasinya) dan membuat berbagai standar manajemen untuk panduan pengelolaan dan pengawasan kinerja OPZ. Sekaligus melakukan kerjasama, sinergi dan aliansi dalam rangka mencapai integrasi zakat nasional yang sebaik-baiknya. Semoga kita semua tetap berkomitmen dan bekerja sepenuh hati dalam memperbaiki perzakatan di Indonesia.wallahu’alam.

No comments: