25 January, 2008

Kalah Cepat Dengan Malaikat Pencabut Nyawa

Seorang Sahabat mengirimkan SMS seperti ini :

”Hari ini saya ditelepon keluarga mustahik dari Bogor yang ditolak Rumah Sakit. Karena saya deadline (dikejar tenggat waktu untuk segera menyelesaikan pekerjaan), saya tak bisa bertemu hari ini. Beberapa menit lalu saya di-SMS lagi, dia sudah meninggal. Beginilah parodi seorang amil”

Membaca SMS tersebut, saya terhenyak dan segera mengucap : ”Inna Lillahi wa Inna ilahi Rojiuunn” dengan agak keras. Saya merasa prihatin dan gundah. Tapi bagi saya ini adalah ”pukulan” kedua pada minggu ini. Karena beberapa hari yang lalu saya juga dibuat kaget. Ceritanya dua minggu yang lalu ada seorang tetangga datang ke rumah membawa setumpuk surat-surat tagihan rumah sakit, karena ada keluarganya yang sakit keras dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Tentu saja, karena keluarga tersebut kepala keluarganya tidak punya pekerjaan yang jelas, tagihan rumah sakit bernilai jutaan itu tidak semua bisa dia bayar. Tetangga saya datang ke rumah saya untuk memohon bantuan, barangkali di lembaga yang saya aktif sehari-hari ada bantuan yang bisa meringankan sebagian kesulitannya.

Dua hari kemudian setelah saya menerima berkas-berkas dari tetangga saya, saya pun mengajukan ke kantor saya. Tentu dengan harapan bantuan itu dapat segera cair. Lewat tiga hari saya belum mendapat kabar tentang status bantuan yang diajukan tetangga saya. Karena ada kesibukan harus ke luar kota dan setumpuk pekerjaan, membuat saya lupa untuk terus memantau status permohonan bantuan dari tetangga saya tersebut. Setelah lewat satu minggu dari waktu saya mengajukan, pada suatu pagi saya mendapat kabar, keluarga tetangga saya yang diajukan permohonan keringanan biaya rumah sakitnya, ternyata sudah meninggal. Saya sedih sekali, dalam hati saya merasa menyesal. Meskipun saya tahu penyebab kematiannya bukanlah pencairan dana bantuan itu. Tapi setidak-tidaknya harusnya saya dan lembaga saya masih sempat memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang sedang menderita. Sekurang-kurangnya sebelum kematiannya menjelang.

Saya harus memohon ampun kepada Allah :

”Astagfirullaahal Adziim..., Nastaghfirullaahal adziim...! Ya Allah ampuni hamba-Mu ini, ampuni kami di lembaga yang melayani umat ini, karena daya layan dan daya bantu kami untuk mengurusi saudara-saudara kami yang kesulitan dan menderita belum mencapai puncak kesungguhan dan belum mencapai kualitas yang seharusnya. Sehingga akhirnya kemampuan kami dalam melayani urusan saudara kami yang kekurangan, masih kalah cepat dengan kedatangan malaikat pencabut nyawa.”

1 comment:

Anonymous said...

Hal yang sama pada kisah kedua pernah saya alami. Waktu itu tetangga saya kena penyakit gula yang sudah parah.
Membantu mengobati samapai sembuh? Tentu perlu biaya yang sangat besar. Paling tidak... paling tidak... kita pernah berusaha membantu dan memberi kebahagiaan sebelum ia meninggal.
Saya urus semua persyaratan dan data yang diperlukan lalu saya ajukan ke ACT.
Woow waiting listnya panjang.
Kapan ya bisa disurvey?
Benar saja. Beberapa minggu kemudian dan belum sempat disurvey, tetangga saya itu pun meninggal.
Kalaulah sempat disurvehy, mungkin ada sedikit kebahagiaan di hatinya, Ohh ternyata masih ada orang yang peduli, oh ternyata ada yang mau menolong saya.
Menyesal?
Kecewa????
Entahlah apa namanya, pokoknya Semua perasaan menjadi satu.